Sesuai rencana, setelah pesta resepsi selesai, Rafael membawa Keysa pulang ke apartemennya di The Plaza. Mobil yang mereka naiki sudah berhenti di area parkir.
"Ngg ... Tuan. Nyonya Keysa tertidur," ucap Arya-sopir pribadi Rafael. Membuyarkan lamunan Rafael yang sedari tadi fokus mengamati jalanan yang mereka lalui.
Rafael melirik Keysa yang duduk di sampingnya.
"Kenapa dia mudah sekali tidur di perjalanan?" gumam Rafael heran. "Buka pintunya!"
Arya mengangguk. Dia bergegas keluar membukakan pintu mobil untuk Rafael.
Mata Rafael melotot tajam ketika melihat Arya sedikit melongokkan kepalanya ke dalam mobil.
"Apa yang kamu lakukan?!" Rafael membentak marah. "Kamu berniat menyentuh istriku?!"
"Bu-Bukan begitu, Tuan."
"Cepat keluar dan ambil barang-barang di bagasi mobil!"
Arya sedikit terhuyung ke belakang karena Rafael mendorongnya dengan kasar. Arya mencibir dalam hati. Kesal sekaligus geli dengan sifat posesif sang majikan. Padahal dia hanya berniat mengambil tas Keysa, bukan pemiliknya. Ayolah, Arya sadar diri. Tidak mungkin dia berani menyentuh wanita milik tuannya.
Rafael memperbaiki posisi Keysa yang masih tertidur pulas dalam gendongannya. Dia mengamati wajah sang istri yang terlihat damai saat tidur. Mereka kini berjalan memasuki sebuah lift menuju unit apartemennya.
Usai dibantu Arya yang memasukkan passcode apartemen, Rafael berjalan menuju ruang tamu. Dia memperhatikan sopirnya yang baru saja meletakkan dua tas miliknya dan juga Keysa.
"Kamu boleh pulang. Terima kasih sudah mengantar."
Arya tersenyum lalu undur diri. Meninggalkan Rafael yang kembali fokus mengamati wajah Keysa yang masih tertidur.
Tanpa sadar bibir Rafael melengkung sempurna. Dia berniat membawa Keysa ke kamar yang sudah disiapkan, tetapi secara mengejutkan mata gadis itu terbuka.
Kedip-kedip.
Rafael menahan napas mendapati Keysa masih menatapnya dengan mata mengerjap polos. Benar-benar layaknya kitty yang sangat menggemaskan.
"AUW!" Keysa memekik kesakitan saat punggungnya membentur pinggiran sofa.
Rafael menepuk keras keningnya setelah menyadari kecerobohan yang baru saja dia lakukan.
"Ma-Maaf." Rafael panik dan segera meminta maaf pada Keysa. "Sakit?"
"TENTU SAJA!" bentak Keysa kesal sembari terisak kecil. "Kakak harus tanggung jawab! Pijat punggungku!"
"APA?!"
Keysa tersentak mendengar teriakan Rafael yang menggelegar layaknya petir. Ia pun menghadiahi tatapan matanya yang memelas. Bersiap untuk menangis lagi.
"Baik-baik. Cepat berbaring!"
Mata Keysa berbinar gembira. Dia pun memposisikan tubuhnya menjadi telungkup di atas sofa.
Glek! Rafael menelan ludahnya dengan kasar. Ia baru menyadari jika gaun yang dipakai Keysa mengekspos bagian punggungnya.
"Kak Rafael, cepat!"
"Sabar sedikit!" Rafael menarik napas panjang. Dia duduk di tepi sofa dan memulai kegiatannya memijat punggung Keysa.
"Ah ... ahhh ... benar di situ ... ahh ...."
Sial! Sial! Sial! Bagaimana bisa dia mengeluarkan desahan yang begitu menggoda di saat seperti ini?
"Kakaaak~"
Rafael memejamkan matanya rapat-rapat sambil berusaha menulikan indra pendengarannya. Tangannya kembali memijat punggung Keysa. Namun, ia merasakan gelenyar aneh saat kulit tangannya bersinggungan dengan kulit punggung Keysa yang begitu mulus.
"Ah ... benar ... pas sekali ... ahhh ... nyamannya ...."
Lagi, Rafael mengumpat dalam hati ketika merasakan celananya terasa menyempit. Dia menunduk dan seketika matanya membulat sempurna kala mendapati sesuatu yang tidak beres di bawah sana. Oh, sh*t!
Keysa terkesiap kaget melihat Rafael tiba-tiba berdiri dari sofa. "Kak Rafael?"
Rafael tidak menjawab. Ia berusaha mati-matian menahan sesuatu yang sedari tadi sudah menyiksanya.
"Lanjutkan sendiri!"
Keysa menautkan kedua alisnya. Dia terkejut melihat Rafael tiba-tiba berlari masuk ke dalam kamar.
BLAM!
Mata Keysa mengerjap bingung. Ia tidak mungkin salah lihat. Ada sesuatu yang menggembung di bagian bawah celana Rafael.
"Tadi itu apa?" gumamnya polos.
"Ngg ... Tuan. Nyonya Keysa tertidur," ucap Arya-sopir pribadi Rafael. Membuyarkan lamunan Rafael yang sedari tadi fokus mengamati jalanan yang mereka lalui.
Rafael melirik Keysa yang duduk di sampingnya.
"Kenapa dia mudah sekali tidur di perjalanan?" gumam Rafael heran. "Buka pintunya!"
Arya mengangguk. Dia bergegas keluar membukakan pintu mobil untuk Rafael.
Mata Rafael melotot tajam ketika melihat Arya sedikit melongokkan kepalanya ke dalam mobil.
"Apa yang kamu lakukan?!" Rafael membentak marah. "Kamu berniat menyentuh istriku?!"
"Bu-Bukan begitu, Tuan."
"Cepat keluar dan ambil barang-barang di bagasi mobil!"
Arya sedikit terhuyung ke belakang karena Rafael mendorongnya dengan kasar. Arya mencibir dalam hati. Kesal sekaligus geli dengan sifat posesif sang majikan. Padahal dia hanya berniat mengambil tas Keysa, bukan pemiliknya. Ayolah, Arya sadar diri. Tidak mungkin dia berani menyentuh wanita milik tuannya.
Rafael memperbaiki posisi Keysa yang masih tertidur pulas dalam gendongannya. Dia mengamati wajah sang istri yang terlihat damai saat tidur. Mereka kini berjalan memasuki sebuah lift menuju unit apartemennya.
Usai dibantu Arya yang memasukkan passcode apartemen, Rafael berjalan menuju ruang tamu. Dia memperhatikan sopirnya yang baru saja meletakkan dua tas miliknya dan juga Keysa.
"Kamu boleh pulang. Terima kasih sudah mengantar."
Arya tersenyum lalu undur diri. Meninggalkan Rafael yang kembali fokus mengamati wajah Keysa yang masih tertidur.
Tanpa sadar bibir Rafael melengkung sempurna. Dia berniat membawa Keysa ke kamar yang sudah disiapkan, tetapi secara mengejutkan mata gadis itu terbuka.
Kedip-kedip.
Rafael menahan napas mendapati Keysa masih menatapnya dengan mata mengerjap polos. Benar-benar layaknya kitty yang sangat menggemaskan.
"AUW!" Keysa memekik kesakitan saat punggungnya membentur pinggiran sofa.
Rafael menepuk keras keningnya setelah menyadari kecerobohan yang baru saja dia lakukan.
"Ma-Maaf." Rafael panik dan segera meminta maaf pada Keysa. "Sakit?"
"TENTU SAJA!" bentak Keysa kesal sembari terisak kecil. "Kakak harus tanggung jawab! Pijat punggungku!"
"APA?!"
Keysa tersentak mendengar teriakan Rafael yang menggelegar layaknya petir. Ia pun menghadiahi tatapan matanya yang memelas. Bersiap untuk menangis lagi.
"Baik-baik. Cepat berbaring!"
Mata Keysa berbinar gembira. Dia pun memposisikan tubuhnya menjadi telungkup di atas sofa.
Glek! Rafael menelan ludahnya dengan kasar. Ia baru menyadari jika gaun yang dipakai Keysa mengekspos bagian punggungnya.
"Kak Rafael, cepat!"
"Sabar sedikit!" Rafael menarik napas panjang. Dia duduk di tepi sofa dan memulai kegiatannya memijat punggung Keysa.
"Ah ... ahhh ... benar di situ ... ahh ...."
Sial! Sial! Sial! Bagaimana bisa dia mengeluarkan desahan yang begitu menggoda di saat seperti ini?
"Kakaaak~"
Rafael memejamkan matanya rapat-rapat sambil berusaha menulikan indra pendengarannya. Tangannya kembali memijat punggung Keysa. Namun, ia merasakan gelenyar aneh saat kulit tangannya bersinggungan dengan kulit punggung Keysa yang begitu mulus.
"Ah ... benar ... pas sekali ... ahhh ... nyamannya ...."
Lagi, Rafael mengumpat dalam hati ketika merasakan celananya terasa menyempit. Dia menunduk dan seketika matanya membulat sempurna kala mendapati sesuatu yang tidak beres di bawah sana. Oh, sh*t!
Keysa terkesiap kaget melihat Rafael tiba-tiba berdiri dari sofa. "Kak Rafael?"
Rafael tidak menjawab. Ia berusaha mati-matian menahan sesuatu yang sedari tadi sudah menyiksanya.
"Lanjutkan sendiri!"
Keysa menautkan kedua alisnya. Dia terkejut melihat Rafael tiba-tiba berlari masuk ke dalam kamar.
BLAM!
Mata Keysa mengerjap bingung. Ia tidak mungkin salah lihat. Ada sesuatu yang menggembung di bagian bawah celana Rafael.
"Tadi itu apa?" gumamnya polos.
***
Rafael keluar dari kamar mandi dengan setelan pakaian santai yang sudah membalut tubuh tegapnya. Wajahnya terlihat segar setelah mandi sekaligus menyelesaikan urusan dengan 'adik'nya. Rafael masih memendam emosi atas sikap istrinya yang kelewat polos.
"Jangan-jangan aku menikahi remaja belasan tahun?" gumam Rafael sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia jadi meragukan Keysa yang mengaku berusia 21 tahun.
Rafael duduk di tepi ranjang sembari mengusap rambutnya dengan handuk. Dahinya mengerut heran ketika mendengar suara berisik dari luar. Ia pun bergegas membuka pintu kamar dan mendapati Keysa berjalan mondar-mandir di depan kamar.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Keysa melompat kaget. "Kak Rafael." Dia mendesah pelan sembari mengusap dada.
"Aku tanya apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa berjalan mondar-mandir di depan kamarku?"
"Ngg ... itu ...." Keysa memainkan jemari tangannya. "Di mana kamarku?"
Hening. Rafael terdiam menyelami ucapan Keysa. Dia teringat sesuatu.
"Maaf, khusus malam ini kita akan tidur satu kamar. Di kamarku." Rafael menyeringai dalam hati. Dia sengaja menambahkan alasan lain. "Kamar yang tersisa sudah digunakan untuk kepentingan lain."
"APA?!" Keysa berteriak kaget. "Ta-Tapi ... kamu 'kan sudah janji kita akan tidur di kamar yang terpisah?"
"Memang. Itu berlaku saat kita tinggal di rumahku, di Pondok Indah. Di sana ada banyak kamar yang bisa kamu pilih. Kalau di apartemenku ini hanya ada satu kamar tidur." Rafael menyeringai jahil. "Untuk sementara kamu bisa tidur di kamarku. Aku tidak keberatan untuk berbagi ranjang denganmu."
Keysa menatap horor ke arah Rafael.
Rafael tersenyum geli melihat perubahan ekspresi wajah Keysa. "Hei, tenang saja. Aku tidak akan melakukan apa-apa."
Keysa terlihat ragu, tetapi segera masuk ke kamar Rafael sambil menenteng tasnya. Dia melihat sofa panjang yang ada di sisi kiri. "Aku tidur di sofa saja, Kak."
Rafael menaikkan sebelah alisnya. "Kamu yakin?"
Keysa mengangguk-angguk.
"Terserah." Rafael mengedikkan bahunya acuh. "Pergi mandi dan ganti gaunmu. Aku akan memesan makanan untuk makan malam."
"Eung!" Keysa mengangguk imut dan langsung melesat masuk ke dalam kamar mandi.
Rafael sudah bersiap pergi ke ruang tamu, tetapi urung kala mendengar suara kucuran air dari shower di kamar mandi. Tiba-tiba fantasi liarnya kembali bermain. Membayangkan tubuh sang istri tanpa sehelai benang satu pun.
"Lama-lama aku bisa gila!"
***
Nafsu makan Rafael hilang dalam sekejap. Semua terjadi saat makan malam yang dipesannya sudah tiba. Keysa begitu lahap menyantap beberapa menu makan malam yang ada di atas meja.
"Kak ...." Keysa masih mengunyah makanan yang ada di mulutnya. "Mmmmh ... ini ... mmmhh ... enak sekali!"
"Telan dulu makananmu baru bicara!"
Keysa mengikuti ucapan Rafael. "Ehehe, maaf aku hanya terlalu senang menikmati makanan khas Indonesia."
Rafael menggelengkan kepala. "Berapa lama kamu tinggal di Jepang?"
"Ngg ..." Keysa mendongak, "Hampir 4 tahun."
"Kamu sudah kuliah?"
"Iya. Aku mengambil studi di Le Cordon Bleu, untuk program Pastry Diploma." Keysa tersenyum riang. "Satu bulan yang lalu aku baru saja menyelesaikan studiku di sana."
"Secepat itu?" Rafael menatap kagum.
"Aku ini cerdas, Kak," bisik Keysa sedikit menyombongkan diri. Hal itu membuat Rafael tertawa terbahak-bahak. "Kenapa kamu tertawa?"
"Tidak." Rafael berdeham pelan. "Aku hanya tidak menyangka, anak kecil seperti kamu ternyata lulusan dari Le Cordon Bleu."
Rafael tahu universitas yang disebutkan Keysa. Universitas itu merupakan tempat kuliah culinary terbaik di seluruh dunia, bahkan kampusnya sudah tersebar di 57 negara.
"Aku bukan anak kecil!"
"Katakan itu pada gadis yang menangis hanya karena dibentak," cibir Rafael mengingatkan kembali pada pertemuan mereka di restoran Jepang beberapa waktu lalu.
"Ehehe~"
Rafael buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia tidak tahan melihat bagaimana ekspresi wajah Keysa yang tengah tersenyum lebar padanya. Bagaimana bisa dia begitu menggemaskan?!
"Aku sudah kenyang." Rafael memundurkan kursinya dan bersiap pergi meninggalkan ruang makan. "Jika kamu sudah selesai, jangan lupa membereskan meja."
Keysa mengangguk-angguk, lalu kembali menikmati hidangan makan malam seorang diri. Tanpa tahu bahwa Rafael masih memandanginya sebelum masuk ke kamar. Pria itu tersenyum sambil menggelengkan kepala. Rasanya, Rafael tidak sabar ingin melihat tingkah ajaib apa lagi yang akan dilakukan oleh Keysa.
***
Keysa merapikan sofa panjang yang ada di kamar Rafael. Dia sudah memakai piyama dengan motif buah kesukaannya, stroberi. Tangan lentik itu menata sebuah bantal dan selimut tebal di atas sofa.
Rafael sedari tadi mengamati kegiatan Keysa. Dia mati-matian menahan tawa melihat piyama yang dikenakan gadis itu.
"Kamu yakin tidak ingin tidur di ranjang yang empuk ini?" tanya Rafael. Sengaja mengiming-imingi Keysa dengan kenyamanan ranjang berukuran king size miliknya.
Keysa menoleh dengan mata mendelik lucu. Seandainya saja Rafael tidak sedang menjaga image, sudah sejak tadi dia menyambar bibir ceri nan menggoda itu.
"Tidak, aku tidur di sini saja," jawab Keysa sedikit ketus.
"Baiklah. Terserah kamu saja." Rafael membaringkan tubuhnya, lalu menarik selimut hingga sebatas pinggang. Dia mematikan lampu tidur yang ada di atas nakas.
"KYAAAA!"
Teriakan Keysa yang begitu keras membuat Rafael melompat kaget. Dia buru-buru menyalakan lampu tidur lagi dan mendapati gundukan mungil di atas sofa.
"Kenapa kamu berteriak?!"
Keysa menyembulkan kepalanya dari balik selimut. "Ma-Maaf, Kak. Aku hanya ... hanya ...."
"Kamu takut gelap?" tanya Rafael usai menangkap wajah ketakutan milik istrinya.
"Iya," jawab Keysa dengan bibir mencebik imut.
Desahan napas panjang keluar dari bibir Rafael. "Ck, merepotkan! Sudah tidur sana!" titahnya setelah membiarkan lampu tidur tetap dalam kondisi menyala. Ia kembali berbaring sambil menarik selimutnya dengan kasar.
Diam-diam Keysa memandangi Rafael yang terlihat sudah tidur di atas ranjang. Dia tersenyum, terharu melihat sikap Rafael yang mengalah hanya untuknya.
"Terima kasih," cicitnya pelan sambil meringkuk malu di balik selimut yang kini membalut tubuhnya.
Rafael membuka matanya. Dia belum benar-benar tertidur sehingga bisa mendengarkan apa yang baru saja diucapkan oleh Keysa. Dia melirik sofa, menatap takjub pada kemampuan istrinya yang sudah terlelap tidur hanya dalam hitungan detik.
"Benar-benar tukang tidur." Rafael terkekeh pelan hingga matanya ikut terpejam. Menyusul sang istri pergi ke alam mimpi.