Surya memasuki kamar Keysa dengan langkah pelan, agar tidak menimbulkan suara atau putri bungsunya nanti akan terbangun. Sang istri mengikuti dari belakang, sambil membawa nampan yang berisi makan malam untuk Keysa. Mereka tersenyum mendapati Keysa masih tertidur pulas di ranjang.
Amanda meletakkan nampan di atas nakas, sementara Surya sudah duduk di tepian ranjang. Ia berniat membangunkan Keysa, namun urung saat matanya menangkap sesuatu yang janggal dengan bibir putrinya.
"Sayang, coba lihat bibir Keysa?" Surya menyentuh lengan sang istri supaya mengalihkan pandangan, "Itu bengkak 'kan?"
Mata Amanda berkedip-kedip, seiring anggukan kecil yang ia berikan pada Surya.
"Apa bibir Keysa baru saja digigit serangga? Kenapa bisa bengkak seperti itu?" Surya menatap cemas, "Cepat Mama carikan obat krim untuk penghilang bengkak. Papa khawatir jika serangga yang menggigit bibirnya berbahaya."
Amanda belum merespon, masih bertahan di posisinya dengan pandangan meneliti Keysa. Ia terdiam cukup lama, sembari mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Sampai akhirnya dia mengingat satu hal yang diduga penyebab bibir Keysa membengkak.
"Kenapa Mama diam saja?"
Bibir Amanda melengkung sempurna, "Papa tidak perlu khawatir. Mama yakin serangga itu tidak berbahaya."
Kening Surya mengerut bingung.
"Serangga itu hanya menginginkan sesuatu yang manis," lanjut Amanda yang membuat kerutan di dahi Surya semakin kentara. Reaksi lamban pria itu membuat Amanda gemas. Seharusnya Surya menyadari lebih cepat apa atau siapa yang sudah membuat bibir putri mereka bengkak.
Sudah jelas itu perbuatan calon menantu mereka. Rafael.
Amanda meletakkan nampan di atas nakas, sementara Surya sudah duduk di tepian ranjang. Ia berniat membangunkan Keysa, namun urung saat matanya menangkap sesuatu yang janggal dengan bibir putrinya.
"Sayang, coba lihat bibir Keysa?" Surya menyentuh lengan sang istri supaya mengalihkan pandangan, "Itu bengkak 'kan?"
Mata Amanda berkedip-kedip, seiring anggukan kecil yang ia berikan pada Surya.
"Apa bibir Keysa baru saja digigit serangga? Kenapa bisa bengkak seperti itu?" Surya menatap cemas, "Cepat Mama carikan obat krim untuk penghilang bengkak. Papa khawatir jika serangga yang menggigit bibirnya berbahaya."
Amanda belum merespon, masih bertahan di posisinya dengan pandangan meneliti Keysa. Ia terdiam cukup lama, sembari mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Sampai akhirnya dia mengingat satu hal yang diduga penyebab bibir Keysa membengkak.
"Kenapa Mama diam saja?"
Bibir Amanda melengkung sempurna, "Papa tidak perlu khawatir. Mama yakin serangga itu tidak berbahaya."
Kening Surya mengerut bingung.
"Serangga itu hanya menginginkan sesuatu yang manis," lanjut Amanda yang membuat kerutan di dahi Surya semakin kentara. Reaksi lamban pria itu membuat Amanda gemas. Seharusnya Surya menyadari lebih cepat apa atau siapa yang sudah membuat bibir putri mereka bengkak.
Sudah jelas itu perbuatan calon menantu mereka. Rafael.
***
Berlokasi di Hotel Raffles Jakarta—tepatnya Dian Ballroom, upacara pernikahan Rafael dan Keysa akan dilaksanakan pada jam 1 siang. Disusul pesta resepsi pernikahan keduanya. Acara ini akan berlangsung secara tertutup dari awak media.
Tamu undangan sudah memenuhi ballroom, mengingat acara akan segera dimulai. Sembari menunggu, tak sedikit dari mereka yang terus mengeluarkan decak kagum atas dekorasi ballroom, yang didominasi warna emas dan putih dengan nuansa klasik serta elegan. Jangan lupakan beberapa lampu kristal yang membuat ballroom tersebut tampak mewah dan berkelas.
Selanjutnya semua mata tertuju pada tokoh utama pria dalam acara kali ini.
Rafael, dengan setelan jas pengantin warna hitam, terlihat sudah berdiri di altar didampingi Candra dan seorang pria yang memakai jubah putih. Beberapa tamu wanita bertingkah layaknya fangirl, terpesona akan penampilan Rafael yang luar biasa tampan. Mereka tidak peduli pada fakta bahwa pria itu akan segera melepas masa lajang dalam hitungan beberapa menit lagi.
"Kamu gugup?"
Rafael menoleh sekilas, kemudian tersenyum tipis dan kembali fokus pada pintu utama ballroom. Nantinya Keysa akan muncul dari sana, berjalan menuju altar dengan didampingi Surya.
"Tidak."
Candra mencibir. "Kamu mungkin bisa bersikap tenang di hadapan semua orang, tetapi tidak di hadapanku."
Decakan kesal lolos dari bibir Rafael, "Aku tidak gugup. Hanya sedikit khawatir jika gadis itu melarikan diri. Sama seperti kakaknya."
Hampir saja Candra menyemburkan tawa, bila ia tidak mengingat di mana posisinya sekarang. Rupanya Rafael 'sedikit' trauma dengan kepergian Nadine jelang seminggu pernikahan mereka. Dan sekarang, Rafael kembali didera kekhawatiran jika kejadian yang sama akan terulang kembali.
"Ayolah, dia tidak mungkin kabur." Candra gagal menahan tawanya. "Menurutku, Keysa berbeda dengan Nadine. Gadis itu sangat penurut, bukan tipe pemberontak seperti kakaknya."
"Kita tidak tahu apa yang ada dalam pikiran orang lain. Bisa saja—"
"Cukup. Buang jauh-jauh pikiran burukmu itu." Candra mendesah pelan, lalu melirik orang tua Rafael yang sudah duduk di area depan. "Mereka mengawasimu, Rafael. Jangan sampai kegelisahanmu ikut mempengaruhi pikiran mereka."
Rafael memandangi wajah kedua orang tuanya yang tengah mengulum senyum padanya. Ia hanya membalas dengan senyuman tipis.
"Aku sudah meminta Friska untuk melihat keadaan Keysa. Aku yakin sebentar lagi pengantinmu akan segera datang," ucap Candra sambil berlalu usai menepuk pelan bahu Rafael.
"Semoga ucapanmu benar," gumam Rafael sebelum kembali menatap pintu utama ballroom yang masih tertutup rapat.
Jika gadis itu tidak segera datang, aku sendiri yang akan menyeretnya ke altar secara paksa.
***
Berulang kali Keysa menghela napas panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang semakin menggila mendekati upacara pernikahannya dengan Rafael. Tangan gadis itu mencengkeram kuat buket bunga yang berada di atas pangkuannya.
Keraguan yang sempat hilang kembali muncul. Berbagai pertanyaan terus berputar di dalam kepalanya.
Bagaimana kehidupannya setelah menikah dengan Rafael?
Apakah Rafael akan memperlakukannya dengan baik?
Apakah dia akan hidup bahagia bersama pria itu?
Pintu ruang khusus pengantin wanita tiba-tiba saja terbuka, memunculkan sosok Amanda yang terlihat anggun dalam balutan kebaya warna merah muda.
"Sayang?" Amanda tersenyum ke arah Keysa yang masih duduk di atas sofa. "Upacara pernikahan akan segera dimulai."
Keysa masih betah membisu, sambil menghadiahi tatapan mata sendu kepada Amanda yang sudah berdiri di hadapannya.
"Sayang, ada apa?" Amanda menyadari ada yang tidak beres dari raut wajah putrinya, "Semua baik-baik saja?"
Gadis itu menggeleng lemah, "Mama ... aku ...."
Amanda duduk di sebelah Keysa, meraih tangan putrinya yang terlihat gemetaran. Ia menyesali keterlambatannya yang tidak peka akan kondisi Keysa. "Tidak apa-apa. Katakan saja pada mama," bujuknya dengan penuh kelembutan.
"Aku takut," cicit Keysa sambil menundukkan kepala. "Sejujurnya ... aku belum siap untuk menikah, dan pernikahan ini tidak dilandasi cinta di antara kami. Pernikahan ini terjadi karena sebuah perjanjian."
Hati Amanda berdenyut mendengar penuturan Keysa. Ia tahu, bukan perkara mudah bagi putrinya menerima pernikahan ini. Apalagi Keysa menggantikan posisi yang seharusnya ditempati Nadine.
Berbeda dengan kakaknya yang sudah melakukan pendekatan dengan Rafael, Keysa hanya mempunyai waktu s3minggu. Sudah bisa dipastikan, muncul ketakutan tersendiri dalam benak Keysa terhadap masa depannya pasca menikah dengan Rafael.
"Mama mengerti perasaanmu." Amanda menyentuh dagu Keysa, menuntun gadis itu agar mereka saling memandang satu sama lain. Jemari tangannya mengusap lembut sudut mata Keysa yang bersiap meneteskan cairan bening.
"Mama minta maaf karena tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan pernikahan ini." Amanda menarik napas panjang. "Tapi, mama hanya ingin mengatakan bahwa kamu tidak perlu takut. Kamu bisa menghadapinya, Sayang."
"Mama ...."
"Anggap saja pernikahan ini didasari atas perjodohan, bukan sebuah perjanjian. Sama seperti apa yang papa dan mama dulu alami. Kami menikah karena dijodohkan oleh orang tua kami."
Amanda tersenyum mengingat-ingat kenangannya bersama Surya.
"Kamu hanya perlu menjalankan kewajibanmu sebagai istri dengan baik. Semua tindakan yang kita lakukan dengan tulus, pasti akan diterima oleh orang lain. Termasuk suamimu, Rafael."
Keysa masih berusaha mencerna kalimat panjang yang diucapkan Amanda.
"Cinta bisa datang karena terbiasa, Sayang."
Wajah Keysa merona. Reaksinya itu membuat Amanda memekik gemas, tak tahan melihat ekspresi wajah sang putri yang terkesan malu-malu.
"Percayalah pada mama." Amanda meraih tangan Keysa, kembali menggenggamnya sangat erat, menyalurkan kehangatan dan kekuatan agar gadis itu tetap tenang dan fokus. "Semua akan baik-baik saja."
Bukan tanpa alasan Amanda berani mengatakan hal demikian. Lewat kacamata seorang ibu, dia bisa melihat bagaimana sikap Rafael yang sedikit mengalami perubahan semenjak bertemu Keysa.
Tak dapat dipungkiri, pria yang biasa terkenal arogan, angkuh, dan sombong itu, mampu berubah menjadi pribadi yang 'sedikit' ramah juga hangat.
"Percayalah pada mama." Amanda meraih tangan Keysa, kembali menggenggamnya sangat erat, menyalurkan kehangatan dan kekuatan agar gadis itu tetap tenang dan fokus. "Semua akan baik-baik saja."
Bukan tanpa alasan Amanda berani mengatakan hal demikian. Lewat kacamata seorang ibu, dia bisa melihat bagaimana sikap Rafael yang sedikit mengalami perubahan semenjak bertemu Keysa.
Tak dapat dipungkiri, pria yang biasa terkenal arogan, angkuh, dan sombong itu, mampu berubah menjadi pribadi yang 'sedikit' ramah juga hangat.