Butuh waktu dua hari bagi Keysa untuk menerima perubahan statusnya dari calon adik ipar menjadi calon istri Rafael. Dia bahkan sampai mengurung diri di kamar seharian, tepat setelah pengakuan mengejutkan dari orang tuanya mengenai perjanjian antara Surya dan Rafael.
Kalau Keysa bisa, dia ingin sekali kabur dari rumah dan kembali ke Jepang saja. Namun, melihat bagaimana wajah putus asa Surya dan wajah murung Amanda, Keysa tak punya pilihan lain. Ia terpaksa menerima keputusan orang tuanya yang menyuruhnya menggantikan posisi Nadine untuk menikah dengan Rafael.
Kini Keysa dalam perjalanan menuju sebuah restoran masakan Jepang yang ada di Kebayoran Baru. Rafael sudah menunggunya di sana. Hari ini mereka berencana melakukan fitting busana pengantin.
Keysa mengerucutkan bibirnya kesal tiap kali mengingat sikap Rafael yang sudah menyebar undangan terbaru, dengan namanya yang tercetak di bagian nama mempelai wanita.
Sampai detik ini, Keysa tidak mengerti alasan Rafael yang ingin menikahi putri di keluarganya setelah memberikan bantuan untuk perusahaan ayahnya. Keysa tidak tahu apa yang ada dalam pikiran pria itu.
Satu hal yang Keysa yakini, kebebasannya telah terenggut semenjak dirinya menyandang status sebagai calon istri pria terkaya nomor satu di Indonesia itu.
"Nona, kita sudah sampai."
Lamunan Keysa buyar ketika mendengar suara sopir yang menjemputnya atas perintah Rafael. Dia mengangguk kecil seraya tersenyum, lalu merapikan penampilannya sejenak sambil menunggu sopir membukakan pintu.
Tangan Keysa berkeringat, bahkan kakinya serasa berubah menjadi jelly hingga keseimbangannya sedikit goyah. Keysa menarik napas panjang-panjang, mengusap dada dengan lembut untuk mengendalikan debaran jantungnya yang menggila.
Keysa menatap lurus pada bangunan restoran yang ada di depan.
"Kamu pasti bisa menghadapinya, Keysa," gumamnya menyemangati diri sendiri.
Kalau Keysa bisa, dia ingin sekali kabur dari rumah dan kembali ke Jepang saja. Namun, melihat bagaimana wajah putus asa Surya dan wajah murung Amanda, Keysa tak punya pilihan lain. Ia terpaksa menerima keputusan orang tuanya yang menyuruhnya menggantikan posisi Nadine untuk menikah dengan Rafael.
Kini Keysa dalam perjalanan menuju sebuah restoran masakan Jepang yang ada di Kebayoran Baru. Rafael sudah menunggunya di sana. Hari ini mereka berencana melakukan fitting busana pengantin.
Keysa mengerucutkan bibirnya kesal tiap kali mengingat sikap Rafael yang sudah menyebar undangan terbaru, dengan namanya yang tercetak di bagian nama mempelai wanita.
Sampai detik ini, Keysa tidak mengerti alasan Rafael yang ingin menikahi putri di keluarganya setelah memberikan bantuan untuk perusahaan ayahnya. Keysa tidak tahu apa yang ada dalam pikiran pria itu.
Satu hal yang Keysa yakini, kebebasannya telah terenggut semenjak dirinya menyandang status sebagai calon istri pria terkaya nomor satu di Indonesia itu.
"Nona, kita sudah sampai."
Lamunan Keysa buyar ketika mendengar suara sopir yang menjemputnya atas perintah Rafael. Dia mengangguk kecil seraya tersenyum, lalu merapikan penampilannya sejenak sambil menunggu sopir membukakan pintu.
Tangan Keysa berkeringat, bahkan kakinya serasa berubah menjadi jelly hingga keseimbangannya sedikit goyah. Keysa menarik napas panjang-panjang, mengusap dada dengan lembut untuk mengendalikan debaran jantungnya yang menggila.
Keysa menatap lurus pada bangunan restoran yang ada di depan.
"Kamu pasti bisa menghadapinya, Keysa," gumamnya menyemangati diri sendiri.
***
Candra menatap horor pada Rafael yang sedari tadi tidak berhenti tersenyum. Belum pernah dia melihat ekspresi wajah sahabatnya tampak ceria seperti ini, layaknya remaja tanggung yang sedang kasmaran.
"Aku menyesal menemanimu di sini jika akhirnya disuguhi wajah orang gila."
Senyuman Rafael seketika luntur, bersamaan lirikan matanya yang tajam ke arah Candra. Pria itu hanya meringis lebar dan kembali menikmati sajian teh yang ada di atas meja.
Kali ini saja Candra akan bersikap patuh, karena sebenarnya dia merasa senang diajak ke restoran masakan Jepang. Sudah lama sekali dia tidak ke sini. Mungkin nanti bila ada waktu, Candra akan mengajak istri dan juga putri kecilnya yang berusia tiga tahun ke restoran ini.
"Kenapa dia lama sekali?"
"Mungkin dia berubah pikiran," celetuk Candra asal dan sekali lagi membuat Rafael menatap tajam padanya.
"Aku hanya bercanda," sahut Candra cengengesan.
Rafael mendengus kesal. Ia sudah berdiri dari posisinya semula yang duduk bersila di atas tatami, ketika pintu tiba-tiba terbuka dan memperlihatkan seorang pelayan berpakaian kimono.
"Ada apa?" tanya Rafael sengit yang membuat gadis itu tertunduk takut.
"Permisi, Tuan. Nona Keysa sudah sampai."
Wajah kusut Rafael seketika berubah cerah, tetapi dia buru-buru menutupinya dengan dehaman pelan dan kembali memasang wajah pongah. Memberi isyarat pada pelayan melalui gerakan tangan, menyuruh Keysa untuk secepatnya masuk selagi dia kembali duduk seperti semula.
Candra nyaris tersedak teh yang sedang dia nikmati ketika melihat perubahan sikap Rafael yang begitu drastis. Hasrat untuk mengejek pria itu muncul, tetapi Candra lebih dulu dialihkan dengan kedatangan sosok gadis mungil yang sudah berdiri tak jauh dari posisi mereka.
Inikah gadis yang bernama Keysa?
Wajah cantik, terutama di bagian matanya yang dibubuhi eyeliner. Tubuh mungilnya dibalut dress selutut warna pastel yang tertutupi oleh mantel warna merah. Rambut panjangnya yang bergelombang sengaja dibiarkan terurai bebas. Belum lagi tatapan matanya yang menggemaskan seperti kitty, ditambah gerakan bibir mungilnya yang terlihat sangat sensual.
Pantas saja sahabatnya itu bersi keras memilih Keysa. Hanya sekali melihat, Candra langsung tahu jika gadis itu tipe istri idaman Rafael.
"Duduklah."
Keysa membungkukkan badannya dengan kaku di hadapan Rafael dan Candra. Tawa Candra pecah seketika melihat bagaimana gadis itu bergerak layaknya robot.
"Candra?"
Pria itu baru berhenti tertawa setelah mendengar nada peringatan Rafael. "Maaf," ucapnya pelan lalu kembali fokus memandangi Keysa yang kedapatan mengerjapkan matanya polos.
Ekspresi wajah Keysa mengingatkan Candra pada sosok sang istri—Friska, di awal pertemuan mereka dulu sebelum resmi menikah. Setelah menjadi istrinya dan dikarunai seorang putri, Friska tidak lagi polos seperti sebelumnya. Salahkan kadar kemesuman Candra yang sudah menular pada wanita itu.
"Santai saja, Key. Tidak usah tegang begitu," tutur Candra santai tanpa sadar pria di sampingnya mengeluarkan aura gelap. Menyadari perubahan ekspresi wajah Keysa, barulah Candra menoleh dan seketika bungkam saat dihadiahi kilatan api kecemburuan dari sorot mata Rafael.
"Maksudku, Keysa," ralat Candra dengan cepat.
Keysa sebenarnya tidak tahu apa yang diperdebatkan dua pria dewasa di depannya itu. Ia hanya fokus mengendalikan debaran jantungnya yang semakin tak terkendali saat masuk ke dalam ruangan VVIP di restoran itu. Ia sedikit bernapas lega mengetahui sosok pria yang bersama Rafael bersikap lebih hangat. Paling tidak bisa mencairkan ketegangan yang terlanjur ia rasakan.
"Ini pertama kalinya kita bertemu. Aku Candra, asisten sekaligus sahabat calon suamimu," cerocos Candra memperkenalkan diri kepada Keysa. Mengabaikan tatapan kesal yang untuk kesekian kali dilayangkan Rafael.
"Senang bertemu denganmu, Kak." Keysa membungkuk sopan. "Aku Keysa."
"Berapa umurmu?"
Keysa merasa seperti calon pegawai yang sedang mengikuti tes wawancara.
"Ngg ... 21 tahun."
"Wah, kamu lebih muda 5 tahun dari kami."
Seruan polos Candra membuat Rafael kesal. "Sudah bicaranya?" potongnya tanpa basa-basi.
"Aku hanya ingin berkenalan dengan calon istrimu, Tuan Rafael. Tidak boleh?" kilah Candra dengan wajah tanpa dosa.
"Aku bahkan belum bicara dengannya. Dasar pencuri start!" gerutu Rafael.
"Kamu bilang apa?" tanya Candra penasaran karena dia mendengar Rafael mengatakan sesuatu.
"Lupakan!" Rafael putuskan untuk mengabaikan Candra dan kembali fokus pada Keysa. "Aku tidak akan berbasi-basi lagi denganmu. Kamu tentu sudah tahu apa alasanku menyuruhmu datang ke sini?"
Keysa mengangguk polos.
"Kamu mau datang ke sini, itu berarti kamu bersedia menikah denganku bukan?"
Keysa terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk lemah.
"Bagus. Setelah makan siang, kita akan pergi ke butik untuk melakukan fitting busana pengantin."
"Tunggu sebentar!"
Rafael yang sudah bersiap memanggil pelayan kembali urung karena teriakan Keysa. Gadis itu sontak menundukkan kepala setelah mendapati Rafael menatap lurus padanya.
"A-Aku ingin mengajukan satu permintaan," cicit Keysa.
Sebelah alis Rafael terangkat. Ia melirik Candra untuk meminta pendapat. Anggukan sahabatnya itu membuat Rafael menarik napas panjang.
"Baiklah, katakan."
Kedua tangan Keysa tertaut di depan dada, "Setelah kita menikah nanti, aku ingin kita tidur di kamar yang terpisah."
Butuh waktu sepersekian detik bagi Rafael untuk mencerna permintaan Keysa, hingga akhirnya—
"APA?!"
—ia berteriak seperti orang kebakaran jenggot.
Candra terjungkal ke belakang karena terlalu kaget dengan teriakan Rafael. Sementara Keysa langsung bereaksi dengan mata berkaca-kaca. Pasalnya, ia paling benci jika ada orang yang berteriak keras di hadapannya.
"Ugh ... hu ...."
Candra mendengar isakan yang lolos dari bibir Keysa. Ia langsung menyikut lengan Rafael yang masih tampak keberatan menerima permintaan Keysa.
"Kenapa kamu membuatnya menangis?! Turuti saja permintaannya!"
"Tapi—"
"Kamu mau dia kabur seperti Nadine? Sudah turuti saja!" Candra mendesak sambil berdecak gemas. "Lagipula umurnya masih muda, Rafael. Wajar jika dia belum siap melayani kebutuhanmu di ranjang."
Pernyataan frontal Candra sukses membuat wajah Rafael merah padam. Antara malu sekaligus marah.
"Kamu—"
"HUWEEEEE!"
Tangisan Keysa menghentikan perdebatan konyol antara Rafael dan Candra. Keduanya panik mengetahui Keysa menangis seperti anak kecil.
"Candra, buat dia berhenti menangis!"
"Tidak mau. Kamu yang membuatnya menangis jadi kamu sendiri yang harus bertanggung jawab!" Candra berjalan mendekati pintu. "Lebih baik aku memanggil pelayan untuk mengantar makanan. Perutku sudah keroncongan."
"HEI!" Rafael kembali berteriak atas sikap kurang ajar Candra. Tidak menempatkan diri sebagai bawahan yang seharusnya tunduk pada perintahnya. Sekali lagi, teriakan kerasnya membuat tangisan Keysa semakin menjadi.
Rafael berjalan mengitari meja, lalu duduk bersimpuh di hadapan Keysa yang masih menangis.
"Jangan menangis ...," bujuk Rafael tidak tahu harus berkata apa. Demi Tuhan, baru kali ini dia melihat seorang gadis berusia 21 tahun menangis layaknya bocah berumur lima tahun.
"Aku pulang ke sini karena ingin melihat kakakku menikah huks huks ... tapi ... tapi sekarang justru aku yang harus menikah denganmu." Keysa melampiaskan segala emosinya pada Rafael. "Aku sudah mengorbankan segalanya untuk menerima pernikahan ini, tetapi kenapa kamu tidak mau mengabulkan satu permintaanku?! HUWEEEEEE!"
Oh, astaga! Kepala Rafael serasa mau pecah mendengar suara tangisan Keysa yang sangat keras.
Ketahuilah Rafael, tangisan Keysa itu murni dari lubuk hatinya yang terdalam. Bukan perkara mudah bagi Keysa untuk menahan emosinya selama dua hari belakangan. Terlebih atas keputusan berat yang diambil untuk menerima statusnya yang baru.
Jadi, wajar saja jika akhirnya pertahanan emosi Keysa pecah dalam bentuk tangisan.
"Baik, baik." Rafael mengusap wajahnya kasar. "Katakan apa maumu, akan aku turuti."
Tangisan Keysa mulai mereda. Gadis itu masih mengusap kedua matanya yang basah karena air mata. "Kamu akan menurutinya?" tanyanya memastikan.
"Iya."
Keysa takut menatap Rafael "Aku ... ingin kamar terpisah denganmu."
Rafael menarik napas panjang. Mungkin kali ini dia memang harus mengalah, menunggu dengan penuh kesabaran sampai Keysa benar-benar siap melayani kebutuhannya di ranjang.
"Baiklah, itu yang kamu dapatkan."
"Sungguh?!" Seketika wajah Keysa berubah cerah. Membuat Rafael lagi-lagi tidak berkutik saat dihadapkan dengan sepasang mata yang menatapnya penuh binar.
"Kamu tidak percaya dengan ucapanku?"
Wajah Keysa berubah takut. "Bukan begitu ..."
"Jangan menangis lagi atau aku akan menarik kata-kataku tadi."
Keysa mencebilkan bibirnya imut dan sukses membuat Rafael kesulitan meneguk ludahnya. Dia berusaha keras mengendalikan hasratnya untuk mencium bibir gadis itu.
Sabar, Rafael. Sabar.