"Bagaimana jika kamu mencari pengganti Nadine?"
Rafael menoleh dengan kening mengerut tajam. "Apa maksud ucapanmu?" tanyanya pada Candra.
"Hanya memberi solusi untuk masalahmu." Candra menjawab seraya tersenyum misterius. "Lebih baik mencari gadis lain untuk menggantikan posisi Nadine. Daripada harus membatalkan pernikahan begitu saja. Kamu ingin harga dirimu terselamatkan bukan?"
Usulan yang dilontarkan Candra memang terdengar gila. Pernikahannya yang seharusnya bersama Nadine akan berlangsung minggu depan. Bagaimana caranya menemukan gadis pengganti Nadine dalam kurun waktu 1 minggu?
Seakan mengerti apa yang dipikirkan Rafael, Candra kembali berkata, "Gunakan kekuasaanmu, Rafael. Aku yakin, kamu akan dengan mudah mendapatkan pengganti Nadine."
Kata 'kekuasaan' yang memang sangat disukai Rafael, tampaknya berhasil mempengaruhi mood pria itu yang sempat memburuk.
"Kamu benar."
Rafael menunjukkan wajah penuh kelegaan di balik seringaian khas miliknya. Ia putuskan untuk mengikuti saran yang diusulkan Candra.
"Tidak ada yang bisa menolak permintaan Rafael."
Rafael menoleh dengan kening mengerut tajam. "Apa maksud ucapanmu?" tanyanya pada Candra.
"Hanya memberi solusi untuk masalahmu." Candra menjawab seraya tersenyum misterius. "Lebih baik mencari gadis lain untuk menggantikan posisi Nadine. Daripada harus membatalkan pernikahan begitu saja. Kamu ingin harga dirimu terselamatkan bukan?"
Usulan yang dilontarkan Candra memang terdengar gila. Pernikahannya yang seharusnya bersama Nadine akan berlangsung minggu depan. Bagaimana caranya menemukan gadis pengganti Nadine dalam kurun waktu 1 minggu?
Seakan mengerti apa yang dipikirkan Rafael, Candra kembali berkata, "Gunakan kekuasaanmu, Rafael. Aku yakin, kamu akan dengan mudah mendapatkan pengganti Nadine."
Kata 'kekuasaan' yang memang sangat disukai Rafael, tampaknya berhasil mempengaruhi mood pria itu yang sempat memburuk.
"Kamu benar."
Rafael menunjukkan wajah penuh kelegaan di balik seringaian khas miliknya. Ia putuskan untuk mengikuti saran yang diusulkan Candra.
"Tidak ada yang bisa menolak permintaan Rafael."
***
"Calon suami?"
Ingin sekali Keysa menulikan indra pendengarannya. Sayang, telinganya masih berfungsi dengan sangat baik. Kata-kata Rafael berhasil terekam dan terus berputar di kepala layaknya kaset rusak.
"Kakak sedang bercanda, ya?" Keysa tertawa kecil hingga mata sipitnya membentuk bulan sabit yang sangat cantik. "Mana mungkin Kakak calon suamiku? Umurku baru 21 tahun dan aku sama sekali tidak berpikir untuk menikah muda. Lagipula, aku pulang ke sini untuk menghadiri pernikahan kakakku. Sudah pasti Kakak ini calon suami Kak Nadine."
Rafael terdiam. Bukan karena tersinggung atas penuturan polos Keysa, melainkan mati-matian menahan hasratnya untuk mencicipi bibir mungil itu yang kini melengkung sempurna. Ditambah bagaimana tatapan Keysa yang persis seperti anak kucing. She's so cute!
"Papa, Mama, aku mau istirahat di kamarku." Tahu-tahu Keysa sudah berbalik dari hadapan Rafael. "Aku lelah sekali."
Rafael bersedekap sambil memperhatikan langkah kaki Keysa yang begitu ringan menuju tangga yang berada di sayap barat. Ia berpikir sejenak, sepertinya tidak mudah menaklukkan gadis polos seperti Keysa yang tidak menyadari tujuan di balik ucapannya.
"Keysa?"
Suara keras Rafael berhasil menghentikan langkah Keysa. Gadis itu baru menaiki dua anak tangga dan kini menatap Rafael dengan mata berkedip polos.
"Aku sedang tidak bercanda." Rafael memandang sekilas pasangan Surya dan Amanda yang sedari tadi mengawasi dengan raut wajah gugup. "Kakakmu melarikan diri dan kamu yang harus menggantikan posisinya."
Hening.
Tak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara, termasuk Surya dan Amanda. Mereka menatap was-was pada putri bungsu mereka yang kini terlihat kaget dengan mata sipitnya yang melotot lucu.
"Kak Nadine ... melarikan diri?" bibir Keysa bergetar panik. Ia bermaksud meminta kejelasan orang tuanya, tetapi teringat lagi kalimat terakhir yang diucapkan Rafael. "Tunggu dulu. Tadi kamu bilang aku yang harus menggantikan posisinya? Apa maksud ucapanmu, Kak?"
Kalau saja Rafael tidak ingat dengan image yang selama ini melekat pada dirinya, dia ingin tertawa lepas melihat bagaimana ekspresi Keysa yang sangat lucu.
"Perlukah aku ulangi lagi ucapanku sebelumnya?" Rafael tersenyum menyeringai, "Bukankah sudah kubilang jika aku adalah calon suamimu?"
Salahkan kemampuan otak Keysa yang 'sedikit' lambat jika dihadapkan pada posisi serba mengejutkan seperti sekarang. Gadis itu hanya diam, dengan tatapan kosong yang menurut Rafael justru terlihat semakin menggemaskan.
"Ma, bawa Keysa ke kamarnya."
Sekalipun diucapkan dengan suara pelan, nyatanya Rafael berhasil mendengar suara Surya. Ia menatap tajam pada Surya yang sekarang turut memandanginya dengan wajah yang sedikit berbeda dari semula.
"Mama?"
Keysa semakin bingung ketika mendapati sang ibu langsung menariknya naik ke lantai atas. Ia hanya menurut dan tidak berkomentar apapun. Meski beberapa kali dia melirik ke belakang, tepatnya pada sosok Rafael yang sampai detik ini masih memandanginya tanpa henti.
"Apa maumu, Rafael?" Surya tidak mampu lagi menahan emosinya. Ia tahu benar maksud di balik ucapan Rafael, tetapi rasanya tidak bisa terima jika putri bungsunya yang terkena imbas dari masalah mereka.
"Aku tidak perlu mengulangi lagi ucapanku, Papa."
Lihat, bahkan Rafael kembali memanggil Surya dengan sangat sopan.
"Papa bilang ingin kesempatan kedua bukan?"
Rafael berbalik menghampiri Surya yang masih berdiri dengan ekspresi wajah sulit diartikan.
"Aku akan memberikan kesempatan kedua itu." Seringaian Rafael terlihat lagi. "Keysa yang akan menggantikan posisi Nadine."
"Kamu—"
Tangan Rafael mengibas di hadapan Surya. "Jangan terburu-buru memberikan penolakan, Papa. Pikirkan baik-baik penawaran terakhir yang kuberikan."
Surya mengatupkan bibirnya rapat ketika menangkap senyum penuh kemenangan di wajah Rafael.
"Aku menikahi Keysa minggu depan atau ...." Rafael mengeluarkan smirk andalannya, "Papa kehilangan SG Corporation."
***
Keysa berjalan mondar-mandir di kamarnya, mengabaikan keberadaan Amanda yang sedari tadi memandanginya dengan wajah penuh penyesalan.
Mengingat bagaimana sikap Rafael yang secara terang-terangan menginginkan Keysa untuk menggantikan posisi Nadine, Amanda merasa kesedihannya berlipat ganda. Putri sulungnya menghilang tanpa kabar, dan kini putri bungsunya harus menanggung beban dari masalah yang tengah mereka hadapi.
"Mama, tolong jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?"
Amanda terkesiap kaget mengetahui Keysa sudah duduk di sampingnya. Sang putri menatapnya dengan sorot mata memohon, membuat Amanda semakin tidak tega untuk menceritakan masalah yang tengah menimpa keluarga mereka.
"Sudah sejak kemarin kakakmu menghilang tanpa kabar."
Mata Keysa membelalak lebar.
"Sampai sekarang kami masih mencoba untuk menghubunginya, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Kamu tahu 'kan jika minggu depan Nadine seharusnya menikah dengan Rafael?"
Keysa mengangguk.
"Tetapi sekarang kakakmu sama sekali tidak diketahui keberadaannya." Amanda mendesah pelan.
Keysa sangat khawatir setelah mendengar kabar menghilangnya Nadine. "Ke mana Kak Nadine pergi?"
Amanda menatap Keysa lamat-lamat. Ia putuskan untuk memberitahukan masalah yang sebenarnya pada gadis itu. "Ada hal lain yang harus kamu ketahui, Keysa. Sebenarnya, pernikahan mereka didasari atas kesepakatan antara papamu dengan Rafael."
Kedua alis Keysa tertaut sempurna. "Maksud Mama?" tanyanya semakin bingung.
"Perusahaan Papa sempat mengalami krisis karena terlilit hutang. Kami kesulitan mencari bantuan, bahkan rekan kerja papamu tidak ada yang bisa membantu sama sekali. Sampai Rafael datang kepada kami."
Keysa mendengarkan cerita Amanda dengan penuh perhatian.
"Rafael menawarkan bantuan untuk menyelamatkan SG Corporation yang berada di ambang kebangkrutan, asalkan dengan satu syarat." Amanda menarik napas panjang. "Yaitu dengan menyerahkan putri di keluarga ini untuk dia nikahi."
"APA?!"
Amanda sudah menduga reaksi Keysa. Selama hampir tiga tahun putrinya itu tinggal di Jepang bersama kakek dan neneknya. Amanda sengaja meminta orang tuanya untuk tidak memberitahu Keysa masalah yang menimpa perusahaan sang suami.
Sekarang, tidak heran jika setelah tahu Keysa terlihat sangat syok.
Mengingat nasib yang akan dialami Keysa, Amanda refleks menggenggam tangan putri bungsunya itu.
"Mama minta maaf, Sayang." Amanda menatap Keysa dengan matanya yang berkaca-kaca. "Mama rasa, kamu akan menggantikan posisi Nadine. Kamu yang akan menikah dengan Rafael minggu depan."
CKLEK!
Pintu kamar perlahan terbuka. Keysa menoleh, lalu mendapati Surya berdiri di sana dengan ekspresi wajah tak jauh berbeda dengan Amanda.
"Papa ...." Keysa menghampiri Surya dengan wajah penuh kegelisahan, "Mama bilang aku akan menggantikan posisi Kak Nadine. Aku yang akan menikah dengan Kak Rafael minggu depan. Itu tidak benar 'kan?"
Surya tidak menjawab. Dia hanya menunduk, sengaja menghindari tatapan Keysa yang membuatnya semakin tidak tega untuk membenarkan ucapan Amanda.
"Papa kenapa diam saja?" Keysa menggenggam tangan Surya. "Tolong jawab pertanyaanku, Pa."
Surya mendongak hingga menemukan sepasang mata putrinya yang berkaca-kaca.
"Katakan jika ucapan Mama salah," desak Keysa mulai putus asa.
Final, hanya gelengan pelan yang Surya berikan pada Keysa. Membuat genggaman tangan gadis itu terlepas secara dramatis.
"Maafkan papa, Sayang. Papa tidak punya pilihan lain." Surya memandangi wajah sang putri dengan penuh rasa penyesalan.
Keysa menggeleng-geleng. "Tidak ...."
"Kamu akan menikah dengan Rafael."
***
Langkah kaki Rafael terasa ringan ketika pria itu melangkah keluar dari rumah keluarga Gunawan. Beban di pundaknya seolah hilang bak dedaunan kering yang diterpa angin.
Rafael mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Senyuman lebar terus terpatri di bibirnya. Ia berniat menghubungi Candra untuk memberitahu kabar gembira baru saja ia dapatkan.
"Halo?"
Bukannya segera menjawab, Rafael justru tertawa keras dan sukses membuat lawan bicaranya tersedak. Oh, seperti Candra sedang menikmati jam makan siang ketika Rafael menelepon.
"Kalau kamu tidak bicara, akan kututup teleponnya."
"Aku punya kabar baik untukmu."
"..."
"Kamu tidak percaya? Aku bersungguh-sungguh, Candra."
"Benarkah?"
"Ya." Rafael tersenyum sekali lagi. "Aku akan menaikkan gajimu."
"APA?!"
"Sudah, ya. Aku tutup."
"Hei, Rafael! Apa maksud—"
PIP!
Sambungan diputus secara sepihak oleh Rafael. Pria itu menatap bangunan rumah mewah keluarga Gunawan.
"Keysa ...." Bibir itu melengkung sempurna. "Kamu akan menjadi milikku."