Destiny of Us Chapter 2

Posted by cloverqua, Released on

Option
Soekarno-Hatta International Airport

Sosok mungil berbalut mantel warna mocca itu terlihat di antara kerumunan orang-orang yang berjalan menuju gerbang pintu kedatangan. Senyum mengembang di bibir, hingga mata sipit berhiaskan eyeliner itu membentuk bulan sabit yang sangat cantik.

Gadis itu berhenti sejenak, menghirup udara tanah kelahirannya yang amat dia rindukan.

"Masih tetap sama," gumamnya sambil tersenyum lebar. Sambil menyeret sebuah koper, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, hingga menemukan sebuah taksi yang kebetulan baru saja menurunkan penumpang. Tak ingin melewatkan kesempatan, dia segera berlari mendekati taksi tersebut.

Sopir taksi itu membantunya memasukkan beberapa barang ke bagasi, sebelum akhirnya ia mengambil posisi duduk di belakang.

"Tujuan Anda, Nona?"

Gadis itu tersenyum. "Kemang," jawabnya.

"Baik."

Perlahan taksi mulai melaju meninggalkan bandara. Gadis itu menyandarkan punggungnya, sedikit melepaskan rasa lelah usai melakukan perjalanan dari Jepang. Selama perjalanan menuju lokasi tujuan, ia memilih menjadikan jalanan kota sebagai fokus perhatiannya. Sungguh, gadis itu benar-benar merindukan suasana tanah kelahirannya.

Selamat datang kembali di Jakarta, Keysa

***

Ketegangan mendominasi suasana salah satu rumah mewah yang terletak di kawasan Kemang. Tak ada satupun yang berani mengeluarkan suaranya setelah sang pemilik rumah murka, mengetahui orang suruhannya belum berhasil menemukan keberadaan putrinya. Sang istri hanya duduk termenung di sampingnya, sambil sesekali mengusap lembut punggungnya untuk mengurangi rasa tegang yang tengah ia rasakan.

"Tenanglah, Pa. Semua pasti baik-baik saja."

Surya, pria itu menggeleng tanda tak setuju dengan ucapan istrinya, Amanda. Wajahnya tampak frustrasi, terlihat dari butir-butir keringat yang mulai muncul di bagian pelipis.

"Kamu tidak mengerti, Ma." Surya mendesah pelan. "Rafael pasti marah besar setelah mendengar kabar Nadine menghilang. Papa berani jamin, dia akan menuntut pertanggungjawaban dari kita."

Gerakan tangan Amanda terhenti. Wajahnya kembali murung, membuat Surya menyesal karena mengingatkan lagi kesedihan yang istrinya rasakan. Sebagai orang tua, apalagi seorang ibu, jelas Amanda yang paling sedih atas kepergian putri mereka yang menghilang tanpa jejak.

"Jangan menangis, Ma." Surya memeluk Amanda, berusaha menenangkan sang istri yang kembali kalut.

"Nadine pasti baik-baik saja 'kan, Pa?" tanya Amanda dengan nada lirih. Matanya berkaca-kaca, hingga cairan bening itu kembali turun dramatis membasahi pipi. Ia memeluk Surya seerat mungkin, sampai akhirnya terisak cukup lama dalam dekapan suaminya.

"Ya, dia pasti baik-baik saja." Surya mengusap lembut punggung Amanda. "Kita tidak boleh menyerah untuk mencari keberadaannya. Tetapi yang harus kita lakukan sekarang, bagaimana caranya menghadapi kemarahan Rafael. Dia—"

BRAK!

Kalimat Surya terpotong begitu saja setelah terdengar suara keras dari arah pintu utama. Amanda refleks mengeratkan pelukannya pada Surya. Ia merasakan firasat buruk yang sebentar lagi akan mereka alami.

Sesuai perkiraan Surya, Rafael datang ke rumah mereka. Pria itu dengan seenaknya tanpa izin maupun salam, langsung menyeruak masuk ke ruang tengah. Menemui Surya yang masih berusaha menenangkan kesedihan Amanda.

Semua orang sontak menatap Rafael was-was. Khawatir jika pria itu mengamuk dan menghancurkan seisi rumah. Bagaimanapun Rafael tengah dikuasai api kemarahan. Kentara dari wajahnya yang tidak bersahabat seperti biasanya.

"Rafael, kamu datang." Sebisa mungkin Surya bersikap tenang, meski tak dapat dipungkiri ketakutan sedang menguasainya. Entah nasib buruk apa yang akan dialami oleh perusahaan dan keluarganya. Dampak dari keputusan sepihak yang diambil Nadine ketika wanita itu memilih menghilang tanpa jejak.

"Maaf untuk sikapku yang tidak sopan, Papa." Rafael tersenyum sinis. "Ah, aku bahkan tidak tahu apakah aku masih bisa bersikap sopan santun padamu. Dan ngomong-ngomong, apakah aku masih harus memanggilmu Papa? Setelah apa yang sudah putrimu lakukan padaku, hm?"

Wajah Surya tampak semakin pucat, di balik senyuman kaku yang ia berikan pada Rafael. "Silakan duduk," ucapnya mempersilakan calon menantunya itu duduk di sofa, tetapi yang dipersilakan sama sekali tidak memberikan respon. Rafael masih betah berdiri dengan wajah marahnya.

"Aku tidak akan berbasa-basi lagi. Kedatanganku ke sini hanya untuk mengatakan satu hal pada kalian."

Rafael menatap tajam pada Surya, membuat ketegangan di ruang tamu kediaman keluarga Gunawan semakin bertambah. Surya hanya berdiri mematung, dengan tangan kanannya yang tengah diremas kuat-kuat oleh Amanda.

"Aku akan menghentikan semua kerjasama antara AF Corporation dengan SG Corporation, juga menarik semua sahamku dari sana. Ini sebagai hukuman karena kalian telah lalai menjaga calon istriku."

Surya belum memberikan pembelaan, hingga Rafael berjalan mendekatinya sambil memasang seringaian menakutkan.

"Kamu telah melanggar perjanjian yang sudah kita sepakati, Papa." Rafael tersenyum mengejek. "Sepertinya aku harus kembali memanggilmu Om Surya. Bukan begitu?"

"Rafael ...." Surya menarik napas panjang, berusaha mengendalikan ketakutan yang tengah berperang melawan emosinya. "Tolong beri waktu kepada kami. Om janji, kami akan segera menemukan Nadine untukmu."

"Apa Om yakin bisa menemukan Nadine dalam waktu tiga hari?"

Surya seketika bungkam. Tiga hari sebenarnya waktu yang cukup untuk mencari keberadaan Nadine, hanya saja dia ragu apakah mampu menepati janjinya pada Rafael. Putrinya itu sama sekali tidak meninggalkan pesan apapun sebelum pergi.

"Aku tahu Om tidak akan bisa. Karena sepertinya putrimu itu memang sengaja melarikan diri dari pernikahan kami," balas Rafael sambil tertawa mengejek. "Ck, aku menyesal sudah membantumu dan juga memilih putrimu sebagai calon istriku."

Amanda meringkuk ketakutan dalam pelukan Surya. Pasangan suami-istri itu kembali terdiam mendengar kalimat-kalimat tajam yang dilayangkan Rafael. Ini memang situasi sulit yang tengah mereka hadapi. Di satu sisi mereka bingung harus mencari Nadine ke mana, sebab tak ada petunjuk satu pun yang mengarah pada keberadaan wanita itu.

Di sisi lain, mereka ketakutan menghadapi masa-masa suram yang sudah menanti di depan mata. Jika benar Rafael menghentikan kerjasama perusahaan mereka dan menarik sahamnya dari SG Corporation, bisa dipastikan perusahaan Surya tidak akan kembali mendapatkan masalah.

"Keputusan sudah diambil. Aku akan menghentikan kerjasama perusahaan dan menarik semua sahamku dari SG Corporation."

"Tidak!" Surya menghalangi langkah Rafael, berusaha menghentikan langkah pria itu yang hendak keluar dari rumahnya. "Rafael, beri satu kesempatan lagi pada kami. Om janji kami akan berhasil menemukan Nadine dalam tiga hari."

"Aku sudah berbaik hati pada kalian, tetapi ini balasan yang kudapatkan! Putrimu itu sudah menginjak-injak harga diriku!" Rafael mengepalkan tangannya kuat-kuat, "Tidak ada lagi kesempatan untuk kalian!"

"Ada apa ini?"

Suara yang mengalun lembut mampu mencairkan suasana yang semula didominasi ketegangan. Semua orang menoleh pada si pemilik suara—sosok gadis bermata sipit yang mengenakan dress selutut berwarna soft-pink, dibalut dengan mantel warna mocca.

Rafael tidak mengalihkan pandangannya sedetik pun dari sosok mungil berparas ayu itu. Eyeliner yang menghiasi matanya, rambut hitam sepanjang punggung yang dibiarkan terurai bebas. Tanpa peduli suasana tegang di ruang tengah, gadis itu melangkah ringan menghampiri Surya dan Amanda.

"Keysa?"

Kerutan samar muncul di dahi Rafael kala mendengar suara Amanda.

"Mama kenapa menangis?"

Mama? Siapa gadis bernama Keysa ini?

Surya menyadari perubahan ekspresi wajah Rafael. Ia dengan sigap memeluk Keysa, kemudian membawanya sedikit menjauhi Rafael.

"Kamu pulang?"

Keysa mengangguk semangat, seperti anak kucing yang begitu lucu dan menggemaskan. "Aku sengaja tidak bilang pada Papa, Mama, dan Kak Nadine. Aku ingin membuat kejutan untuk kalian semua!" teriaknya girang.

Rafael memicingkan matanya curiga, membuat Surya sontak waspada dan semakin mengeratkan pelukannya pada Keysa. Hal serupa juga dilakukan oleh Amanda.

"Kamu siapa?" tanya Rafael sambil menatap lurus kepada Keysa.

Keysa menoleh dengan mata berkedip-kedip polos. Sejenak sikap kecilnya itu membuat Rafael tertegun. Sulit bagi pria itu mengalihkan pandangannya dari sosok mungil yang sangat menggemaskan ini.

"Perkenalkan, namaku Keysa. Aku putri kedua di keluarga Gunawan," jawab Keysa dengan senyuman termanisnya.

"Putri kedua?" Rafael menatap Surya dengan sorot mata menuntut. "Kamu punya dua orang putri?"

Tak ada yang menjawab. Baik Surya dan Amanda sepakat untuk diam. Tetapi hal itu tidak menyurutkan langkah Rafael untuk mencari tahu soal Keysa. Terlebih ketika dia melihat sebuah koper yang menemani gadis itu ketika muncul di rumah ini.

"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Apa kamu tinggal di sini?"

Keysa menggeleng. "Aku baru saja pulang ke sini. Sebelumnya aku tinggal di Jepang bersama kakek dan nenekku," jawabnya polos.

"Benarkah?" Rafael tersenyum menyeringai. "Menarik."

"Kamu siapa?" tanya Keysa penasaran.

Sebelum Rafael menjawab, Surya lebih dulu menjawabnya.

"Dia calon kakak iparmu, Keysa." Surya berusaha menghindari tatapan tajam menusuk yang dilayangkan Rafael.

"Ah, jadi kamu yang akan menikah dengan Kak Nadine?"

Rafael kembali dibuat tak berkutik melihat mata Keysa berbinar terang.

"Astaga, Kak Nadine tidak salah memilih calon suami. Hihi~" Keysa tertawa menggemaskan sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Senang bertemu denganmu, Kak."

Surya dan Amanda merasakan firasat buruk ketika Rafael mendekati Keysa dengan senyum smirk andalannya.

"Aku bukan calon suami Nadine."

"Eh?" Keysa mengerjapkan matanya bingung. Terkejut atas penuturan Rafael yang kontras dengan ucapan papanya. "Kamu bukan calon suami Kak Nadine?"

Rafael mengangguk.

"Lalu kamu siapa?"

"Namaku Rafael Adhitama," seringaian itu kembali terukir di bibir Rafael, "Dan aku adalah calon suamimu."

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset