Destiny of Us Chapter 1

Posted by cloverqua, Released on

Option
Suara ketukan pantofel memenuhi sepanjang lorong lantai tertinggi gedung perusahaan AF Corporation. Raut cemas mendominasi wajah Candra. Ia mengabaikan sapaan formal beberapa karyawan yang berpapasan dengannya.

Sikap Candra dinilai wajar, mengingat otaknya sekarang hanya dipenuhi oleh satu orang. Seseorang yang mampu membuat seluruh karyawan di perusahaan ini dilanda ketakutan hanya karena kemarahannya.

"Candra?"

Pria itu baru berhenti, menoleh sebentar pada sosok wanita yang sedang berdiri di dekat pintu sebuah ruangan. Raut wajah wanita itu tak jauh berbeda dengan wajah Candra.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Kak Nayla?"

Kerutan samar muncul di dahi Nayla. "Kamu belum mendengarnya?"

"Aku sudah mendengarnya. Hanya saja ...," Candra terdiam sejenak, "aku masih belum percaya pada lelucon itu, Kak."

"Sayangnya itu bukan lelucon."

Mata elang Candra membelalak lebar. "Jadi benar Nadine melarikan diri?" tanyanya dengan nada sedikit meninggi.

"Itu yang kudengar dari orang-orang suruhan Rafael." Nayla menarik napas pendek. "Mereka ditugaskan untuk menjemput Nadine, mengingat hari ini adalah jadwal Rafael dan Nadine untuk fitting busana pengantin. Tapi, begitu sampai di rumah keluarga Gunawan, mereka mendapat laporan dari Tuan Surya dan Nyonya Amanda kalau Nadine menghilang dari kemarin."

Candra hendak bertanya, tetapi Nayla dengan cepat mengangkat tangannya. Memberi isyarat pada Candra agar menunggu sampai dia selesai bercerita.

"Tuan Surya dan Nyonya Amanda sudah berusaha menghubungi Nadine, tetapi nomor ponsel Nadine tidak aktif." Nayla menggelengkan kepala. "Tidak ada satu orang pun yang tahu di mana keberadaan Nadine sekarang."

"Oh, sial! Ini benar-benar kabar buruk!" Candra mengumpat secara spontan. "Bagaimana reaksi Rafael?"

"Kamu masih bertanya?" Nayla tertawa mengejek. "Ayolah, Candra. Di antara kami semua, jelas kamu yang paling hafal dengan Rafael."

Candra memutar bola matanya jengah. "Aku sedang tidak ingin bercanda, Kak."

"Aku juga tidak sedang bercanda, Tuan Candra." Nayla menghela napas panjang. "Setelah mendapat kabar tentang Nadine yang menghilang tanpa jejak, Rafael belum keluar dari ruangannya. Aku rasa dia mengamuk."

Candra menatap horor ketika telunjuk jari Nayla mengarah pada pintu berukuran besar yang ada di hadapan mereka.

"Aku mendengar suara berisik dari dalam. Seperti benda-benda berjatuhan dan juga pecahan kaca," lanjut Nayla berbisik di akhir kalimat.

Candra terdiam. Wajahnya terlihat gelisah, tidak jauh berbeda dengan Nayla.

"Aku akan melihat keadaannya, Kak."

Anggukan kecil Nayla berikan pada Candra. "Masuklah. Kuharap kamu jangan ikut terpancing dengan apapun ucapannya nanti. Kamu tahu sendiri bagaimana Rafael jika sudah dikuasai emosi."

"Aku tahu."

Candra melangkah pelan mendekati pintu besar di depannya. Sebelum membuka pintu, dia menarik napas panjang-panjang. Jujur saja jika dibandingkan rasa gugup ingin menemui atasan, Candra lebih merasa takut. Rasanya seperti hendak memasuki sarang binatang buas.

Semua orang yang mengenal Rafael dengan baik, pasti sudah hafal bagaimana sikap pria itu ketika sedang dikuasi emosi. Pria tampan dan terkaya nomor 1 di Indonesia itu akan berubah seperti binatang buas, siap menerkam siapa saja yang hendak bertemu dengannya. Kalau sudah begini, orang-orang memilih menjauhi Rafael guna mencari aman untuk melindungi diri mereka sendiri.

Tentu saja kondisi ini tidak berlaku bagi Candra. Seberapa menakutkannya Rafael ketika sedang marah, sebagai asisten pribadi sekaligus sahabatnya, Candra akan mengambil jalan yang berlawanan. Mendekati Rafael untuk menenangkan emosinya.

CKLEK!

Candra merutuki kebodohannya setelah begitu sadar lupa mengetuk pintu. Rahang bawahnya terjun bebas begitu dia masuk ke ruangan Rafael. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Dibandingkan ruangan yang sangat khas dengan kerapian seorang pimpinan perusahaan, ruangan itu lebih pantas disebut kapal pecah.

Bagaimana tidak?

Semua benda berserakan di lantai. Mulai dari alat tulis, lembaran-lembaran kertas, dan beberapa perabotan yang ada di dalam ruangan. Buku-buku yang biasa berjejer rapi di dalam rak pun tak luput dari kemarahan Rafael.

Candra menggulirkan pandangan ke sisi kiri. Dia menemukan Rafael yang sedang duduk di sofa dengan kedua tangan bertumpu di atas lutut, menyangga kepalanya yang tertunduk lesu.

"Rafael?"

Sapaan formal tidak lagi berlaku ketika salah satu dari mereka sedang ditimpa masalah. Bukan saatnya mereka berbicara layaknya atasan-bawahan, melainkan sebagai sahabat.

"Kalau kamu ingin tertawa, silakan saja," balas Rafael dingin.

"Kenapa aku harus tertawa?" tanya Candra pura-pura tidak tahu.

"Karena sekarang semua orang sedang menertawakanku."

Candra belum merespon. Dia memberi kesempatan pada Rafael untuk mengeluarkan segala emosinya. Candra bisa melihat bagaimana kekecewaan itu terpancar dari sorot mata Rafael.

Rafael mengatupkan bibirnya rapat. "Aku baru saja dipermainkan oleh seorang wanita. Calon istriku kabur jelang satu minggu pernikahan kami. Bukankah ini terdengar sangat lucu, Candra?"

"Nadine tidak kabur, Rafael. Mungkin saja ada suatu hal yang harus dia urus," balas Candra tetap dengan pemikiran positif. Walau dalam hati dia meragukan sendiri pemikirannya.

Tawa menggelegar memenuhi setiap sudut ruangan. Candra sedikit bergidik, terlebih ketika Rafael melayangkan tatapan tajam menusuk kepadanya.

"Jangan berusaha menghiburku, Candra."

Candra menarik napas panjang. Reaksi Rafael sesuai perkiraannya. Baru percobaan pertama menenangkan Rafael saja sudah dibalas sedemikian tajam oleh pria itu. Bagaimana jika mereka kembali berdebat argumen?

Jadi, lebih baik Candra mengalah dan menuruti kemauan Rafael. Sebisa mungkin mengawasi langkah yang akan diambil Rafael untuk menghadapi masalah yang tengah pria itu hadapi.

Well, sebenarnya masalah yang mereka bahas bukan masalah perusahaan, tetapi masalah kehidupan pribadi yang menyangkut masa depan dan harga diri seorang Rafael Adhitama.

Minggu depan, Rafael akan melangsungkan pernikahan dengan Nadine, putri dari pasangan Surya Gunawan dan Amanda Maheswari. Seperti yang ada dalam drama picisan, pernikahan ini terjadi bukan dilandasi cinta, melainkan atas perjanjian yang telah disepakati antara Rafael dan Surya.

SG Corporation, perusahaan yang didirikan oleh Surya tengah dililit hutang. Jika perusahaan tidak dapat melunasi hutang hingga jatuh tempo, perusahaan itu berakhir gulung tikar. Surya sudah berusaha mencari pinjaman melalui kerabat maupun rekan kerjanya, tetapi tak ada satupun dari mereka yang mampu membayar hutang dengan jumlah yang banyak.

Surya nyaris mengalami depresi. Beruntung Rafael datang dan menawarkan bantuan kepadanya untuk meminjamkan dana guna melunasi hutang perusahaan. Tidak hanya itu, Rafael bahkan bersedia memberikan suntikan dana kepada perusahaan agar bisa kembali stabil seperti semula.

Dengan satu syarat.

Surya harus memberikan putrinya untuk dia nikahi.

Merasa tak punya pilihan lain, Surya pun menyetujui syarat yang diajukan Rafael. Ia menyerahkan putrinya—Nadine, untuk dinikahi oleh Rafael.

Berbagai persiapan pun mereka lakukan selama tiga bulan terakhir ini. Mulai dari menunjuk wedding organizer yang akan mengurusi pernikahan Rafael dan Nadine, termasuk designer yang akan merancang baju pengantin keduanya.

Tidak ada kendala yang berarti selama mereka mempersiapkan pernikahan Rafael dan Nadine. Keduanya bahkan melakukan penjajakan yang cukup baik, saling mengenal satu sama lain sebelum mereka resmi menjadi pasangan suami-istri. Undangan siap disebarkan dan baju pengantin siap mereka coba, hingga kabar buruk itu mencuat ke permukaan.

Sejak kemarin, Nadine dilaporkan menghilang dan belum ditemukan keberadaannya sampai detik ini. Keluarga Gunawan sudah berusaha mencari keberadaan wanita itu, namun tak kunjung mendapatkan titik terang.

Kondisi ini berhasil menghancurkan segala persiapan yang mereka lakukan untuk pernikahan Rafael dan Nadine. Sebagai seorang pria, terlebih dengan statusnya sebagai pria terkaya nomor satu di Indonesia, Rafael merasa harga dirinya sedang dipertaruhkan. Ia tidak terima atas kaburnya Nadine jelang satu minggu hari pernikahan mereka.

"Apa rencanamu sekarang?" tanya Candra memecah keheningan.

Tak ada jawaban dari Rafael, pria itu masih betah membisu. Hingga perlahan muncul seringaian menakutkan di bibir Rafael.

"Tentu saja aku akan menuntut pertanggungjawaban dari keluarga Gunawan." Rafael mengepalkan tangannya kuat-kuat. Kilatan api kemarahan kembali terpancar dari sepasang matanya. "Aku tidak terima harga diriku dipermainkan begitu saja."

Candra memaklumi keputusan Rafael. Pria mana yang bisa terima keadaan jika harga dirinya sedang dipertaruhkan?

"Keluarga Gunawan harus bertanggung jawab karena lalai menjaga calon istriku."

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset