“Papa?”
Langkah kaki Barra terhenti begitu mendengar suara lirih yang memanggilnya. Ia menemukan Raffa sudah duduk di tepi tempat tidur, mengucek matanya sambil menguap lebar. Sudut bibirnya meringkuk melihat penampilan khas bangun tidur Raffa yang menggemaskan.
“Udah bangun?” tanya Barra. Tangannya sibuk mengusap-usap rambut yang basah selesai keramas.
Dahi Raffa mengernyit seiring aroma menyegarkan merasuki indra penciumannya. Rasa kantuk yang masih menghinggap seketika sirna. Bola matanya membelalak lebar melihat penampilan Barra.
“Papa baru selesai mandi?”
“Iya.” Barra mengalungkan handuk di leher Raffa. “Ayo, mandi dulu. Sebentar lagi mau masuk salat Maghrib.”
Raffa melompat turun dari tempat tidur, lalu bersiap lari keluar kamar. Namun, sebelum membuka pintu, Raffa tiba-tiba berbalik memeriksa pakaian yang dikenakan Barra.
“Itu punya siapa, Pa?” tanya Raffa menunjuk kaos abu-abu dan bawahan celana panjang hitam di tubuh Barra.
“Kakaknya Kak Jihan,” jawab Barra seraya tersenyum. “Udah, cepet mandi. Nanti salat sama Papa.”
“Iya, Pa.”
Saat Raffa membuka pintu, secara bersamaan Jihan sudah berdiri dengan tangan terkepal ke atas. Ia memang bermaksud mengetuk pintu untuk memanggil Barra dan Raffa. Tak disangka, Raffa lebih dulu membuka pintu kamar dan membuatnya terpaku dengan ekspresi kikuk.
“Jihan?”
Suara Barra mengembalikan kesadaran Jihan. Ia menurunkan tangannya lalu melempar senyuman pada mereka. “Cuma mau ngasih tahu kalau makan malamnya udah siap.”
Mata Raffa berbinar-binar. “Tunggu, Kak! Aku mau mandi dulu, terus solat sama Papa!” Dengan penuh semangat, dia berlari ke kamar mandi. Meninggalkan Barra dan Jihan yang saling memandang lalu tertawa bersama.
Perhatian Jihan dengan cepat berlaih pada penampilan Barra yang memakai setelan milik kakaknya. Ia sudah menebak ukuran Barra tidak jauh berbeda dengan sang kakak. Akan tetapi, aura yang diperlihatkan Barra berhasil menarik Jihan
Rambut setengah basah usai keramas, wajah yang segar dan bersih, ditambah aroma maskulin yang menguar dari tubuh Barra. Jihan tahu aroma ini berasal dari sabun milik kakaknya. Namun, dia tidak mengira akan memberikan efek yang berbeda saat dipakai oleh Barra.
Diam-diam Jihan menelan ludahnya dengan gugup dan buru-buru memalingkan wajah. “A-Aku ke kamar dulu.” Setelah mengucapkannya, Jihan langsung menutup pintu kamar hingga menimbulkan suara debuman yang keras.
Mata Barra berkedip-kedip. Butuh sepersekian detik baginya untuk mencerna gelagat Jihan barusan sebelum akhirnya tertawa.
Di satu sisi, Jihan yang masih berdiri di dekat pintu, samar-samar bisa mendengar suara tawa Barra. Ia merasakan hawa panas di sekeliling dan refleks menangkup wajahnya yang semerah tomat. Tak ingin tertangkap basah oleh Barra ataupun Raffa, Jihan pun segera berlari masuk ke kamarnya.
...***...
“Waktunya makan!”
Jihan dan Barra kembali saling melirik mendengar seruan Raffa yang riang. Ketiganya duduk lesehan di ruang TV. Jihan mengeluarkan meja lipat yang bisa digunakan untuk makan malam bersama, mengingat mini bar yang ada di apartemennya hanya muat untuk dua orang saja. Raffa memilih duduk di samping Jihan, sementara Barra duduk berseberangan dengan mereka.
Jihan hendak mengambil sendok, tetapi perhatiannya tertuju pada Barra dan Raffa yang baru saja selesai berdoa. Ia teringat kembali momen kemarin saat makan malam bersama Raffa untuk pertama kalinya.
“Mas Barra?”
Barra yang baru meletakkan gelas air putih bergumam pelan.
“Aku salut. Mas Barra mengajari Raffa adab makan yang baik,” lanjut Jihan.
Mendengar pujian itu, hati Barra terasa hangat. “Aku cuma ngelanjutin apa yang udah diajarkan mamanya. Dari bayi, setiap mau makan, mamanya selalu membacakan doa sebelum makan agar Raffa bisa merekamnya.”
Jihan tertegun ketika menangkap binar kekaguman di mata Barra. Pasti almarhumah istrinya adalah wanita yang luar biasa.
“Kak Jihan, sup ayamnya enak banget!”
Tubuh Jihan berjengkit kaget karena suara keras Raffa. Ia baru menyadari sedari tadi masih memegang sendok dan belum menikmati makanannya. Sementara pasangan ayah dan anak itu sudah begitu lahap menikmati makanan yang tersaji di meja.
“Kamu suka?” tanya Jihan memastikan.
“Suka!” Raffa beralih pada Barra meminta pendapat. “Papa, masakannya Kak Jihan enak, ya?”
Senyuman Barra mengembang bersamaan anggukan kepalanya. Ia menatap Jihan lamat-lamat, “Iya, enak. Kak Jihan pinter masak.”
Pipi Jihan merona. Jantungnya berdebar tidak karuan karena pujian yang dilontarkan Barra. Salah tingkah, tangan Jihan begitu cepat mengambil makanan ke mulutnya. Alhasil, dia tersedak dan terbatuk-batuk.
“Ini.” Barra dengan sigap menyodorkan minuman untuk Jihan. “Minum pelan-pelan.”
“Ambil napas dulu, Kak.” Raffa ikut-ikutan memberikan pertolongan. “Tarik napas, buang napas.”
Berkat Raffa, Jihan tertawa kecil dan melupakan rasa malu karena salah tingkah di hadapan Barra. Ia akhirnya berhasil mengontrol dan tersenyum pada mereka. “Makasih.”
Raffa balas tersenyum lebar dan kembali pada makanannya. Sementara Barra, dia justru fokus memperhatikan gerak-gerik Jihan yang beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, wanita itu buru-buru menundukkan wajah.
Imut, batin Barra.
“Pa, besok kita ke Ragunan, ya?”
Senyuman Barra memudar. Alisnya tertaut heran mendengar ajakan Raffa barusan. “Kamu besok ‘kan masuk sekolah.”
Mata Raffa berkedip-kedip. “Oh iya, aku lupa.” Ia tersenyum malu dan disambut dengusan pelan oleh Barra. “Terus, kapan kita ke Ragunan?”
Barra baru saja mengunyah makanannya langsung terdiam. Ia mengamati ekspresi wajah Raffa yang berubah memelas, dengan sorot mata penuh harap ke arahnya.
Jihan yang melihat interaksi itu gagal menahan tawa. Ia tahu Raffa sengaja bertanya demikian karena menagih janji Barra tentang meluangkan waktu untuknya.
“Akhir pekan aja.” Jihan mengabaikan reaksi terkejut Barra dan terus berbicara dengan Raffa. “Kalau akhir pekan, Papa pasti bisa nemenin kamu ke Ragunan.”
Setelah mengatakan itu, Jihan menyeringai jahil pada Barra yang menghadiahi tatapan protes ke arahnya.
“Beneran, Pa?” Mata Raffa berbinar-binar penuh antusias. “Papa bisa nemenin Raffa ke Ragunan akhir pekan besok?”
Barra menelan makanannya secara perlahan lalu menghela napas. Pertahanannya runtuh karena kembali dihadapkan dengan wajah memohon Raffa. Suara cekikikan di sekitarnya membuat Barra refleks menoleh ke arah Jihan, si pelaku.
Sebuah ide seketika muncul dalam kepala Barra. “Oke, Papa bakal nemenin Raffa ke Ragunan Sabtu besok. Tapi ....”
Seringaian yang muncul di bibir Barra membuat ekspresi Jihan berubah waspada.
“Kak Jihan juga harus ikut ke Ragunan. Gimana?”
“Eh?!” Jihan refleks memekik, bergantian menghadiahi tatapan protes pada Barra yang tersenyum penuh kemenangan.
“Setuju!” Raffa berbalik memandangi Jihan dengan wajah memohon. “Mau ya, Kak? Ya? Ya?”
Aduh, senjata makan tuan. Jihan mengerang frustrasi dalam hati. Ia menemukan sorot mata Raffa penuh pengharapan dan membuatnya tidak bisa menolak permintaan itu.
Jihan tidak tega menghancurkan keinginan Raffa pergi jalan-jalan bersama ayahnya. Namun, dia bingung kenapa harus terlibat dalam acara pasangan ayah dan anak ini.
“Oke.” Jihan sudah mengambil keputusan. “Kakak ikut.”
“YEAY!” Raffa berdiri dan melompat kegirangan mengitari Jihan dan Barra.
Hati Jihan menghangat melihat kegembiraan yang dirasakan Raffa. Ia tertawa kecil, tetapi kemudian tertegun saat merasakan sesuatu baru saja mengenai pipinya.
Raffa terkikik melihat ekspresi kaget Jihan. “Makasih ya, Kak Jihan.”
Jihan menyentuh pipi kanannya yang baru saja dicium oleh Raffa. Ia menoleh ke arah Barra saat pria itu tertawa. Barra juga mendapatkan ciuman kasih sayang dari anak itu.
“Jadi,” Mata Jihan memicing menuntut penjelasan Barra, “kenapa aku harus ikut dalam acara kalian?”
“Kamu sendiri yang bilang sama Raffa kalau aku bisa nemenin dia ke Ragunan akhir pekan besok. Padahal, aku belum lihat jadwalku selama seminggu besok,” kata Barra jujur. “Jadi, kamu harus tanggung jawab.”
Wajah Jihan berubah cemberut.
“Toh Raffa juga bakal lebih seneng kalau kamu ikut,” lanjut Barra. Jawabannya sama sekali tidak membuat Jihan puas.
“Ck, aku ‘kan cuma mau bantu Raffa.” Bibir Jihan memberengut dan pipirnya menggembung lucu.
Barra yang sedang minum hampir saja menyemburkan air putih yang belum sepenuhnya tertelan. Ia geleng-geleng kepala melihat wajah merajuk Jihan. “Kamu umur berapa, sih?”
“25 tahun, kenapa?”
“Enggak, cuma ...,” Barra berdeham pelan, “ekspresimu barusan kayak bocah umur 5 tahun.”
“Mas Barra!”
Tawa Barra kembali pecah. Jihan semakin kesal dan memilih menghabiskannya secara brutal. Ia tidak sadar tingkahnya ini justru membuat Barra semakin bersemangat menggodannya. Bak menemukan mainan baru, Barra menyukai ekspresi wajah Jihan saat merajuk seperti anak kecil.
Barra dan Jihan sibuk berdebat sampai tidak menyadari Raffa sudah berhenti berlarian dan fokus memandangi mereka. Mata Raffa mengerjap lucu. Perlahan, sebuah lengkungan sempurna muncul di bibirnya.
Rencanaku berhasil!