Bukan Sekadar Pengasuh Chapter 6

Posted by cloverqua, Released on

Option
Aroma masakan yang menguar dari dapur membuat Barra terbangun dari tidurnya. Ia hendak bangun dan turun dari tempat tidur, tetapi baru menyadari kondisi lengan kanannya yang dijadikan bantal oleh Raffa.

Dengan hati-hati, Barra menarik tangan kirinya yang mulai terasa kebas. Sesekali dia memeriksa situasi Raffa, memastikan anak itu masih tertidur pulas.

Mata Barra memicing pada celah pintu kamar yang sedikit terbuka.

“Pantes aja aroma masakannya sampai ke sini,” gumam Barra seraya terkekeh pelan. Ia memutuskan keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur.

Rupanya suara langkah kaki Barra berhasil terdengar oleh Jihan. Ia menoleh dan tersenyum hangat pada pria itu.

“Udah bangun, Mas?” tanya Jihan.

Barra mengangguk. Untuk sesaat, pandangannya terfokus pada Jihan yang sedang fokus memasak. Bukan kegiatan memasak Jihan yang menarik perhatian Barra, melainkan penampilannya.

Gaun santai selutut yang dibalut apron, lalu rambut yang sengaja dicepol hingga menyisakan beberapa helai di tengkuk Jihan. Mata yang berbinar cantik, serta bibir semerah ceri yang sangat menggoda.

“Mas Barra?”

Barra mengerjapkan mata, lalu berdeham pelan. Ada perasaan malu karena tanpa sadar terus memandangi Jihan. Ia segera mengeluarkan topik pembicaraan baru.

“Kamu masak apa?” tanya Barra penasaran.

“Sup ayam.” Jihan menjawab sambil tetap fokus pada masakannya. “Ini cocok buat balikin energi kamu, Mas. Kamu pasti kecapekan karena insiden tadi.”

Barra mengangguk-angguk, lalu menarik kursi pada mini bar. Ia meraih gelas kosong lalu mengisinya dengan air putih yang sudah tersedia. Dalam sekejap Barra langsung menegak habis air putih itu.

“Kamu tinggal sendirian?”

Jihan mengangguk.

“Orang tuamu?”

“Mereka tinggal di Jakarta Utara,” jawab Jihan.

“Oh.” Barra melirik kamar yang dia tempati bersama Raffa. “Kirain kamu tinggal sama mereka.”

Jihan mengalihkan sejenak perhatiannya pada kamar yang dimaksud Barra. “Kamar itu biasa dipakai kakakku, Mas.”

Barra terlihat antusias mendengar cerita Jihan. “Kamu punya kakak?”

“Iya, kakak laki-laki.” Jihan tersenyum dan mulai bercerita. “Sebenarnya apartemen ini yang milih dia, Mas. Sengaja milih unit yang fasilitasnya dua kamar. Sewaktu-waktu kalau Kakak pulang dari Surabaya, dia bisa mampir dan tinggal di sini dulu. Sebelum lanjut pulang ke rumah orang tua kita.”

Barra mengangguk paham. “Berarti kakakmu tinggal di Surabaya?”

“Iya. Dia kerja di sana.” Jihan melirik Barra sekilas. “Kakak bertanggung jawab atas kantor cabang perusahaan Papa.”

Barra terlihat semakin antusias terhadap pembicaran mereka. “Kamu ikut kerja di kantor papamu?”

Jihan menggeleng pelan, “Enggak, Mas. Aku milih jadi guru les privat aja.”

“Guru les privat?” Barra menatap tak percaya. “Ambil mata pelajaran apa?”

“Matematika.”

Barra menatap kagum pada Jihan. Ia sebenarnya ingin bertanya lebih banyak hal lagi pada wanita ini. Namun, Barra sadar bahwa mereka belum lama berkenalan, baru beberapa jam saja. Rasanya tidak etis jika mengorek informasi pribadi Jihan terlalu dalam.

“Mas mau mandi dulu?”

Barra terdiam sejenak, lalu memeriksa penampilannya. Ia tersenyum masam begitu menyadari tubuhnya lengket dan sedikit bau. Ya, dia memang harus mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tapi, bagaimana dengan baju gantinya?

Seolah bisa menebak kekhawatiran Barra, Jihan mengulum senyum. “Nggak usah khawatir. Mas bisa pakai kaos dan celana kakakku. Kayaknya ukuran kalian nggak jauh beda, sih. Mungkin, punya kakakku lebih besar.”

Barra terkekeh pelan. “Oke. Makasih, ya.”

Jihan tertegun selama beberapa detik karena kembali dihadiahi senyuman Barra yang menghipnotis. Dalam hati, ia mendengus kesal. Dia sadar nggak sih, kalau senyum kayak gini bikin jantung deg-degan?!

Jihan segera mencari obrolan lain. “Raffa masih tidur?”

Barra mengangguk. Ia teringat kembali cerita Raffa. “Dia tadi cerita kalau hari ini kamu ngajak jalan-jalan ke Jakarta Aquarium.”

“Ah, soal itu.” Jihan sedikit tersipu. “Semalem, Raffa cerita kalau rencana jalan-jalan kalian batal. Jadi, aku inisiatif ajak dia jalan-jalan. Kalau mau ke Sea World Ancol lumayan jauh dan makan waktu. Aku saranin aja ke Jakarta Aquarium.”

“Nggak apa-apa. Dia tetep seneng kok. Kelihatan pas cerita semangat banget,” ujar Barra. Senyuman yang sempat menghiasi wajahnya perlahan memudar.

“Kenapa, Mas?” Jihan bingung melihat perubahan ekspresi Barra.

“Makasih ya, Jihan. Kamu udah gantiin aku nemenin Raffa jalan-jalan,” kata Barra tulus.

Jihan tertegun melihat wajah bersalah Barra.

“Aku memang papa yang buruk. Selalu ingkar janji sama Raffa,” lanjut Barra. “Karena pekerjaan, kadang aku sampai lupa kapan terakhir kali kami pergi jalan-jalan bersama.”

Jihan menggigit bibir bawahnya. Sejenak merasa ragu apakah harus mengutarakan pendapatnya atau tidak. Tapi mengingat bagaimana Raffa yang menangis semalam karena sedih atas kesibukan ayahnya, Jihan merasa perlu memberi nasehat pada Barra.

“Masih ada kesempatan buat memperbaiki kok, Mas.”

Barra mendongak dan menatap Jihan dengan kebingungan.

“Aku memang nggak tahu detil pekerjaanmu. Tapi, dari cerita Raffa, aku punya gambaran kalau kamu orang yang sangat sibuk.” Wajah Jihan tampak serius. “Pesanku cuma satu. Coba dalam seminggu sekali, kamu luangkan waktu untuk Raffa. Itu udah lebih dari cukup, daripada enggak sama sekali.”

Barra terdiam, masih mencoba mencerna setiap pesan yang disampaikan Jihan.

“Kamu harus inget, sekarang cuma kamu yang dia punya setelah mamanya meninggal. Mungkin ada orang tuamu atau saudaramu yang ikut nemenin Raffa. Tapi, bagi dia yang paling berkesan tetap menghabiskan waktu sama kamu, Mas,” jelas Jihan panjang lebar.

Dahi Barra mengernyit. “Kamu tahu dari siapa kalau mamanya Raffa udah meninggal?”

Jihan kesulitan meneguk ludahnya, sedikit menyesal karena sudah lancang mengucapkan kata-kata barusan pada Barra. “Semalam Raffa cerita sama aku,” cicitnya sedikit takut.

Menyadari ekspresi Barra, Jihan semakin didera rasa bersalah.

“Maaf, Mas. Aku udah lancang. Nggak seharusnya—”

“Nggak apa-apa. Omongan kamu bener, kok.” Barra tersenyum hangat. Kali ini ada perasaan lega dari sorot matanya. “Makasih untuk nasehatnya.”

Jihan hanya bisa tersenyum tipis. Ia justru sibuk mengendalikan detak jantungnya yang berdegup sangat kencang.

“Aku nggak tega lihat Raffa nangis semalem.” Jihan berbagi cerita lain. “Jadi, aku pikir nggak ada salahnya kamu luangkan waktu untuk—aduh!”

Pekikan Jihan yang kesakitan itu membuat Barra membeliak. Dengan cepat dia menghampiri Jihan, dan setelahnya bola mata Barra membulat sempurna kala melihat cairan warna merah keluar dari ujung jarinya.

“Jarimu kena pisau?”

Tak ada jawaban dari Jihan, hanya terdengar desisan seperti ular. Ia merutuki atas kecerobohannya yang tidak berhati-hati saat memotong daun bawang, hingga jarinya terluka karena terkena pisau. “Ck, aku kurang hati-hati,” katanya tetap tersenyum.

Namun, Barra jelas bisa melihat kesakitan yang Jihan rasakan.

“Biar kuobati.”

“Nggak apa-apa, Mas. Aku bisa—”Kalimat Jihan terhenti ketika Barra tiba-tiba menarik jari tangannya, lalu dalam hitungan detik menghisap darah yang keluar itu.

Wajah Jihan sontak memerah. Ada sensasi menggelenyar saat Barra melakukan pertolongan pertama padanya. Buru-buru dia menarik tangannya dari Barra, sebelum lepas kendali atas apa yang baru saja dilakukan pria itu.

“A-Aku bisa obati sendiri.” Jihan menunduk, tidak berani memperlihatkan wajahnya yang menyerupai kepiting rebus.

Barra sendiri baru menyadari tindakannya yang telah membuat suasana mereka berubah canggung. Terlebih saat Jihan dengan segera mematikan kompor, lalu berlari meninggalkan dapur, dan masuk ke kamar.

Mata Barra berkedip-kedip. Seperti orang bodoh, ia hanya berdiri mematung di dapur dengan pandangan mata tertuju pada arah yang baru saja dilalui Jihan. Setelah hampir 1 menit terdiam, ada lengkungan senyum yang sempurna terlukis di bibirnya.

"Manis juga."

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset