Bukan Sekadar Pengasuh Chapter 5

Posted by cloverqua, Released on

Option
“Akh.”

“Tahan sebentar, Mas.” Dengan penuh kehati-hatian, Jihan mengobati luka di wajah Barra, ayah Raffa. Keduanya sudah berkenalan ketika Jihan mengajak pulang ke apartemen. Saat ini, mereka berada di ruang TV. Barra sedang menerima perawatan luka dari Jihan.

Jihan mengingatkan Barra untuk tidak banyak bergerak selagi diobati. Raffa yang duduk di samping Barra menunggu dengan perasaan cemas. Pandangannya terus tertuju pada plester luka di beberapa titik wajah ayahnya.

“Selesai.”

Barra menghela napas lega. “Makasih ya, Jihan,” ucapnya tulus.

Sesaat, Jihan tertegun melihat senyuman Barra. Ia menanggapi ucapan pria itu dengan anggukan kecil, lalu bergegas membereskan kotak obat. Setelahnya, Jihan pergi membuatkan minuman untuk Barra. Ia sengaja memberi ruang dan waktu bagi Barra dan Raffa untuk berbicara secara pribadi.

“Raffa?”

Tubuh Raffa menegang begitu setelah mendengar nada berat Barra. Ia refleks menunduk setelah bertemu dengan sorot mata tajam ayahnya.

“Kenapa kamu kabur dari rumah?”

“...”

“Kamu masih marah sama Papa?”

Raffa melirik Barra sebentar, lalu mengangguk pelan.

“Marah karena kita batal jalan-jalan?”

Raffa mengangguk sebanyak tiga kali. Ia memberanikan diri menatap Barra dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Melihat ekspresi itu, Barra menghela napas panjang sambil memijat pelipis. Pikirannya kembali berkelana pada saat pertama kali menerima kabar buruk dari Anto yang notabene sopir keluarga mereka. Raffa meminta Anto mengantarnya jalan-jalan berkeliling kota dengan mobil. Sayangnya, dia justru kabur ketika Anto membelikannya milk tea.

Barra sempat bereaksi marah pada Anto yang dianggap lalai menjaga Raffa. Namun, menelisik kembali bagaimana reaksi Raffa saat rencana jalan-jalan mereka batal, Barra memilih merenungkan diri. Tampaknya, Raffa memang sudah berniat kabur dari rumah sejak meminta Anto mengajaknya jalan-jalan berkeliling kota.

Untuk saat ini, tidak ada yang lebih melegakan dibandingkan berhasil menemukan Raffa dalam keadaan baik-baik saja.

“Papa minta maaf, ya?” Barra mengusap lembut pipi Raffa. “Papa nggak ada maksud batalin acara jalan-jalan kita. Itu karena—”

“Papa sibuk sama pekerjaan,” potong Raffa dan membuat Barra terdiam.

Jihan yang sedari tadi berusaha menguping pembicaraan Barra dan Raffa hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia memiliki firasat obrolan ayah dan anak itu akan berlangsung cukup alot.

“Aku tahu, kok. Papa sibuk bantu Om Damar kerja di kantornya Opa,” lanjut Raffa. Ia bersedekap dan memalingkan wajah seolah menghindari Barra. Wajahnya tampak cemberut dengan pipinya yang menggembung lucu.

Kalimat yang dilontarkan Raffa membuat Barra merasa tertohok. Rutinitas pekerjaan sebagai wakil direktur di kantor ayahnya yang kini dikelola bersama Damar, kakak sulung Barra, kerap membuatnya kurang menghabiskan waktu bersama Raffa. Terkadang Barra melupakan kondisi Raffa yang membutuhkan perhatiannya setelah kepergian sang istri lima tahun silam, akibat penyakit kanker hati yang dideritanya.

Di tengah suasana hati yang berkecamuk, perhatian Barra teralih pada Jihan yang datang membawakan minuman. Saat cangkir itu diletakkan di meja, aroma yang menguar dari teh membuat Barra tertarik.

“Minum dulu, Mas,” kata Jihan seraya tersenyum.

Barra mengangguk dan mengikuti saran Jihan. Ia menyesap teh itu secara perlahan. Bibirnya melengkung sempurna saat cairan teh melewati kerongkongannya. Barra merasa lebih tenang dan rileks.

“Raffa, Papa minta maaf, ya?” Barra mengusap kepala Raffa dengan penuh perhatian. “Papa janji bakal meluangkan waktu untuk Raffa.”

Raffa belum menanggapi ucapan Barra. Ia justru melirik Jihan, seakan memberi isyarat meminta pendapatnya. Anggukan Jihan membuat Raffa merasa diyakinkan dan akhirnya menyetujui ucapan Barra.

“Janji ya, Pa?” Raffa mengulurkan jari kelingkingnya. “Kalau bohong lagi, aku bakal protes sama Om Damar.”

Barra terkekeh mendengar ancaman Raffa. Ia balas menautkan jari kelingking mereka. “Papa janji.”

Seulas senyum perlahan terukir di bibir Raffa. Ia langsung memeluk Barra dan menikmati setiap usapan lembut sang ayah di punggungnya. Meski baru sehari, Raffa menyadari bahwa dia sangat merindukan kehangatan dari pelukan Barra.

Pemandangan itu membuat Jihan tersenyum lega. Ia berharap, insiden ini membuat Barra mau belajar memperbaiki kesalahannya sebagai ayah. Barra mungkin mampu membelikan barang apapun yang diinginkan Raffa. Namun, anak itu jauh lebih membutuhkan kehadiran Barra untuk menghabiskan waktu dengan bermain atau jalan-jalan.

“Raffa?”

“Iya, Pa?”

“Sekarang kita pulang, ya?”

Wajah Raffa seketika berubah horor. Ia menggelengkan kepala. “Enggak ....”

“Semua orang di rumah udah nungguin kamu. Mereka khawatir saat tahu kamu kabur dari rumah,” bujuk Barra. “Kita pulang, ya?”

“Nggak mau!”

“Raffa ....”

“Aku masih mau di sini, Pa! Aku masih mau main sama Kak Jihan!”

Penolakan keras Raffa membuat Jihan dan Barra saling memandang. Barra memandanginya dengan sorot mata bersalah.

Jihan sendiri belum berkomentar apa-apa. Ia tetap mempertahankan senyuman terbaiknya. Jujur saja, Jihan sebenarnya terharu mendengar Raffa masih berkeinginan menghabiskan waktu bersamanya. Mereka dipertemukan karena insiden semalam, tetapi sudah melakukan hal yang menyenangkan bersama. Ia sangat senang menghabiskan waktu bersama Raffa.

“Raffa, dengerin Papa.” Barra terus berusaha membujuk Raffa. “Kita udah banyak ngerepotin Kak Jihan, jadi harus pulang. Oke?”

“Enggak!” Raffa terus menolak dan berakhir menangis.

Jihan melonjak kaget karena Raffa tiba-tiba berlari memeluknya. Ia mengusap lembut punggung Raffa sambil membisikkan kata-kata menenangkan untuknya.

“Kok malah nangis?” Jihan melirik Barra yang sedang menatap intens ke arahnya. Selama sepersekian detik, jantung Jihan berdetak kencang karena tatapan mata pria itu.

“Aku nggak mau pulang. Aku masih mau main sama Kak Jihan,” jawab Raffa sambil terisak.

Barra menghela napas panjang. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa menghadapi sifat keras kepala Raffa yang memang menurun darinya.

“Oke.” Jihan sudah mengambil keputusan. “Raffa boleh nginep lagi di sini.”

Tangis Raffa tiba-tiba berhenti. Anak itu mendongak dan memandangi Jihan dengan mata berbinar, “Beneran, Kak? Raffa boleh nginep lagi?”

Jihan mengangguk. “Tapi bilang dulu sama Papa.”

Raffa langsung berpindah tempat di sebelah Barra. Ia memasang puppy-eyes untuk membujuk Barra. “Boleh ya, Pa? Ya? Ya? Ya?”

Jihan tertawa kecil melihat perubahan ekspresi wajah Raffa yang menggemaskan. Terlebih Barra masih berusaha keras membentengi diri agar tidak terbujuk oleh putranya sendiri dengan memasang wajah datar.

“Udah, Mas. Nggak apa-apa. Toh, lukamu juga belum pulih. Kamu butuh istirahat” Jihan membantu Raffa. “Kalian bisa pulang besok pagi.”

Barra mencerna saran Jihan yang memang sesuai dengan kondisinya. Buntut kejadian sore tadi membuat tubuh Barra terasa remuk, apalagi wajahnya juga terluka.

Diam-diam, Jihan memperhatikan wajah Barra yang sudah mendapatkan perawatannya. Beberapa plester luka itu sama sekali tidak menutupi aura ketampanannya. Jihan semakin yakin wajah tampan Raffa memang berasal dari Barra.

“Oke. Malam ini, kita nginep di sini.” Barra menyerah dan menuruti kemauan Raffa. “Tapi, besok pagi-pagi sekali kita udah harus pulang.”

“YEAY!” Raffa berseru senang lalu mengecup pipi Barra. “Makasih, Papa! Aku sayang Papa!”

Kekesalan Barra akhirnya runtuh setelah melihat raut kebahagiaan di wajah Raffa. Ia pun balas memeluk dan mencium anak itu. “Papa juga sayang Raffa.”

Jihan tertawa kecil melihat interaksi Barra dan Raffa. Anak itu langsung berlari ke kamar yang ditempatinya semalam—tepat bersebelahan dengan kamar Jihan. Mereka bisa mendengar teriakan kegembiraan Raffa dari dalam kamar. Keduanya sama-sama tertawa saat mendengarnya.

“Raffa lucu,” ucap Jihan polos. Senyumannya langsung memudar ketika menyadari Barra sedang menatapnya. Jihan buru-buru memalingkan wajah.

“Maaf, ya. Kami udah banyak ngerepotin kamu,” tutur Barra penuh rasa bersalah.

Jihan menggeleng. “Nggak apa-apa, Mas. Aku seneng kok bisa nolong kalian.”

Barra mengangguk-angguk. “Untung aja Raffa ketemu orang kayak kamu. Aku nggak bisa bayangin kalau Raffa ketemu orang jahat.”

Jihan terdiam sejenak. Ia akhirnya memilih jujur dan mulai menceritakan insiden yang dialami Raffa kemarin malam. Setiap cerita yang disampaikan Jihan berhasil membuat Barra terkejut bukan main.

“Ah, aku baru sadar kalau ada plester di hidungnya.” Barra tidak mampu menutupi perasaan cemasnya. “Dia baik-baik aja ‘kan?”

Jihan mengangguk dan memberikan pujian untuk Raffa. “Dia anak yang kuat.”

Barra bernapas lega. Sorot matanya tampak cerah saat memandangi Jihan. “Aku nggak tahu lagi harus ngomong apa selain ucapan terima kasih karena udah nolongin Raffa.”

Ditatap sedemikian rupa oleh Barra, bohong jika Jihan tidak salah tingkah. Ia buru-buru mengontrol ketenangan diri dan mengalihkan pembicaraan mereka.

“Ngomong-ngomong, gimana akhirnya Mas bisa sampai di supermarket tadi?” tanya Jihan penasaran.

“Itu dari GPS ponsel Raffa. Titik terakhirnya di sana,” jawab Barra.

Jihan mengangguk-angguk.

“Aku berulang kali nelepon ponselnya, tapi nggak aktif.” Barra mendesah frustrasi. “Semalem, aku bener-bener panik. Takut dia kenapa-napa.”

Jihan terdiam. Ia mengatupkan kedua tangannya di depan Barra. “Maaf ya, Mas. Harusnya kemarin aku langsung nanyain Raffa untuk nelepon Mas. Tapi dia ....”

“Dia lagi marah sama aku.” Barra tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Kamu udah tepat, kok. Ngasih dia waktu sendiri bahkan nemenin jalan-jalan.”

Jihan tidak berkata lagi. Ia merenungkan insiden yang dialami Barra dan Raffa. Tanpa sadar bibirnya melengkung geli. “Kenapa kalian bisa sama-sama apes di tempat tadi?”

Mendengar itu, Barra tertawa kecil. “Iya, kami sama-sama apes. Di satu sisi, kami juga sama-sama beruntung.”

Alis Jihan tertaut, “Beruntung?”

“Kami ditolong wanita sebaik dan secantik kamu.”

Bibir Jihan terkatup rapat. Ucapan Barra sukses membuat jantungnya berdegup kencang, disusul hawa panas yang kini menjalar di sekujur tubuh.

Jihan tidak bisa membayangkan semerah apa wajahnya. Sekarang, ia semakin yakin kemiripan Barra dan Raffa. Bukan hanya wajah tampannya saja yang menurun pada Raffa. Mereka sama-sama pandai memuji wanita.

“Jihan?”

“Iya, Mas?” Jihan tersentak kaget. Ia tertegun melihat sorot mata Barra yang teduh dan memancarkan kehangatan.

“Kami berhutang budi sama kamu.” Barra dengan tulus menyampaikan perasaannya. “Makasih, ya.”

Jihan tersipu malu dan menggaruk pipinya. “Nggak harus segitunya kok, Mas. Biasa aja.”

Dalam hati, Jihan tidak menampik ada perasaan menggelitik yang memberikan sensasi menyenangkan. Ia merasa terhipnotis dengan tatapan pria itu.

Kendati demikian, Jihan tidak bisa menghilangkan kebingungan dalam pikirannya. Ia tidak pernah mengira akan dihadapkan dalam situasi seperti ini. Dalam kurun 24 jam, Jihan bertemu dengan Barra dan Raffa, menolong mereka di waktu yang berbeda, tetapi dalam situasi yang sama.

Jihan tidak tahu, apakah ini hanya kebetulan atau memang sudah takdir yang digariskan Tuhan untuknya. Menjadi penolong Barra dan Raffa.

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset