Selesai menjelajahi Jakarta Aquarium, Jihan, Raffa, Dhea, dan Rian memutuskan untuk makan siang bersama. Sejujurnya, pasangan kekasih itu masih ingin mengajak Raffa jalan-jalan ke tempat lain. Namun, Raffa mengeluh sudah mengantuk dan ingin pulang ke apartemen Jihan untuk tidur.
Jihan langsung menyetujui permintaan Raffa. Ia sendiri juga merasa sudah kehabisan energi, mengingat jarang menikmati hari Minggu di luar rumah. Jihan lebih senang menghabiskan waktu bersantai seharian di apartemennya pada saat hari Minggu.
Selama mengemudi, Jihan beberapa kali melirik Raffa yang duduk di sampingnya. Ia terkekeh melihat anak itu terkantuk-kantuk.
“Sampai.”
Mendengar suara Jihan, Raffa refleks membuka matanya. Namun, bangunan yang terlihat di depan membuat alisnya tertaut heran. “Kita ke sini lagi, Kak?”
“Iya.” Jihan mengangguk pelan. Sekilas, ada rasa bersalah dalam hatinya karena kembali mengajak Raffa ke supermarket langganannya. Jihan tahu anak ini mengalami trauma setelah insiden semalam.
“Cuma sebentar, kok. Kemarin Kakak kelupaan beli garam.” Jihan melepas sabuk pengaman. “Kamu mau ikut? Kita bisa beli snack kesukaanmu.”
Ada keraguan dari sinar mata Raffa. Beruntung Jihan mampu meyakinkan bahwa Raffa aman karena ada dirinya.
“Gandeng ya, Kak,” pinta Raffa.
“Tentu.” Dengan penuh perhatian, Jihan menggandeng Raffa keluar dari mobil.
Awalnya Jihan mengira Raffa akan terus diam setelah mereka masuk ke supermarket. Namun, dugaannya meleset. Hanya dalam sepersekian detik, Raffa justru terlihat senang menjelajahi seisi supermarket. Ia bahkan sempat berlarian hingga membuat Jihan kewalahan saat mengejarnya.
Begitu tiba di area makanan dan minuman ringan, Jihan dibuat melongo dengan aksi Raffa yang memasukkan beberapa snack ke troli belanja mereka.
“Raffa ....” Jihan menepuk keningnya frustrasi. “Ini kebanyakan.”
“Nggak apa-apa, Kak. Buat stok,” jawab Raffa santai.
Jihan kehabisan kata-kata. Bibirnya berkedut. Buat stok? Emang Raffa mau nginep berapa hari di tempatku?
Kepala Jihan serasa pusing memikirkan situasi Raffa yang sedang kabur dari rumah. Ia harus segera mencari cara untuk menghubungi papa atau keluarganya.
“Udah selesai?” Jihan bertanya lagi saat Raffa sedang fokus memeriksa snack di troli belanja.
“Udah!” Raffa tersenyum lebar. Melihat ekspresi gembira itu, emosi Jihan seketika luruh.
Dalam benak Jihan, ia merasa senang bisa mengobati rasa kesepian Raffa. Meski hanya dengan mengajaknya jalan-jalan dan berbelanja, anak itu terlihat sangat gembira.
“Kak Jihan?”
Jihan tersadar dari lamunannya. “Iya?”
Raffa mengamati Jihan lamat-lamat, lalu mengulum senyum. “Kakak kelihatan cantik banget kalau lagi senyum.”
Jihan buru-buru memalingkan wajah sambil berdeham pelan. Apa-apaan ini? Aku digodain sama anak kecil?!
“Papa pasti bakal suka sama Kak Jihan,” lanjut Raffa polos. Ia tidak sadar ucapannya berhasil membuat wajah Jihan merah padam.
Ya ampun, Raffa. Bisa-bisanya dia jodohin aku sama papanya?!
“Udah. Kita ke kasir.” Jihan mengalihkan topik pembicaraan mereka.
“Ayo, Kak!” balas Raffa bersemangat.
Jihan memilih tidak mau ambil pusing dengan perkataan Raffa. Baginya, itu hanyalah ucapan polos anak kecil tanpa ada niat terselubung.
Selesai membayar, Jihan dan Raffa bergegas kembali ke mobil. Raffa menunggu Jihan memasukkan belanjaan mereka ke bagasi. Sesekali pandangannya mengedar ke sekeliling, takut bertemu kembali dengan geng remaja yang mengganggunya semalam.
“ARGGG!”
Raffa berjengkit kaget mendengar suara teriakan seorang pria, sama halnya dengan Jihan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari sumber suara. Matanya memicing tajam pada salah satu anggota geng preman yang baru saja memukul seseorang.
“Ya Allah. Apa lagi ini?” Jihan bergumam prihatin. Ia seperti deja vu dengan insiden yang menimpa Raffa semalam.
“Kakak ....”
Jihan terkesiap merasakan genggaman erat di tangannya. Begitu menunduk, ia menemukan wajah ketakutan Raffa.
“Kamu tunggu di mobil, ya? Kakak mau lihat dulu,” kata Jihan dan disetujui oleh Raffa. Anak itu langsung patuh masuk ke mobil.
Jihan menarik napas panjang-panjang, mencoba menenangkan hati dan mempersiapkan diri untuk kembali menolong orang yang sedang kemalangan. Ia bergegas menghampiri geng preman itu.
“BERHENTI!” Teriakan Jihan berhasil mengalihkan perhatian mereka.
“Mau apa lo?!”
Jihan meningkatkan kewaspadaannya dan terus mengamati sosok pria yang kini jatuh tersungkur di lantai. “Lepasin dia!”
“Lo siapa ikut campur urusan kita?”
Alis Jihan mengernyit saat mencium aroma minuman alkohol. “Lepasin dia atau aku laporin kalian ke polisi? Kalian udah bikin keributan di tempat umum dan ngelakuin kekerasan sama orang lain.”
Ancaman Jihan tidak membuat geng preman itu takut. Sebaliknya, mereka justru tertawa mengejek Jihan.
“Lapor aja kalau lo berani!”
“Oke!” Jihan mengabaikan ekspresi kaget mereka dan membuka tasnya untuk mengambil ponsel. “Kalian yang minta, ya?”
Geng preman itu terperanjat melihat Jihan serius dengan ancamannya. Mereka mengira Jihan hanya menggertak. Salah satu dari mereka langsung mencengkeram kuat lengan Jihan.
“Lepasin!” Belum sempat Jihan mengambil ponselnya, pergerakannya lebih dulu dikunci salah satu dari mereka. Namun, ia tak kehabisan akal. Jihan melakukan cara serupa dengan Raffa semalam.
“AAAAAAH!”
Jihan tidak lagi fokus pada rasa asin di lidahnya, melainkan kaget mendengar teriakan kesakitan preman itu yang seperti wanita. Ia tidak menyadari bahaya lain yang mengintai dari belakang.
Tepat saat Jihan berbalik, dia menjerit ketakutan melihat pria dengan tatto di lengan itu tampak bernafsu ingin memeluknya. Spontan saja, kaki Jihan menendang bagian bawah selangkangan dan tepat mengenai ‘adik’ pria itu.
“ARGGG!”
Mata Jihan mengerjap lucu melihat pria itu terduduk lemas di jalan sambil memegangi bagian bawahnya.
“Udah, nggak usah ngurusin cewek ini.” Pria yang Jihan yakini sebagai ketua mereka, memberi perintah sambil menatap tajam ke arahnya. “Ayo, pergi. Gue udah ambil dompetnya.”
Mendengar ucapan itu, wajah Jihan berubah panik. “HEI! BALIKIN DOMPETNYA!” Ia berlari mengejar mereka yang sudah kabur. Kali ini Jihan berhasil menyusul mereka berkat flat shoes yang dia kenakan.
Sayangnya, salah satu dari mereka berbalik dan mendorong tubuh Jihan hingga dia jatuh terjerembab di jalan. Jihan merintih kesakitan karena rasa nyeri pada punggung.
“BERHENTI!” Jihan sudah berdiri dan bersiap lagi untuk mengejar. Namun, geng preman itu sudah menghilang dari pandangannya.
“Ck, mereka berhasil kabur!” gerutu Jihan kesal. Sambil mengusap-usap punggungnya, Jihan berbalik. Ia buru-buru menghampiri pria yang menjadi korban dari geng preman itu.
“Ya Allah!” Jihan bergidik ngeri melihat kondisi wajah pria itu. Pipi lebam dan sudut bibirnya berdarah. “Mas, kamu nggak apa-apa?”
Sesaat Jihan menyesali kebodohannya. Luka kayak gini jelas nggak baik-baik aja, Jihan!
Pria itu merintih kesakitan saat tangan Jihan menyentuh sudut bibirnya.
“Kita pergi ke rumah sakit, ya?” tawar Jihan.
“Nggak usah. Aku nggak suka rumah sakit.” Pria itu langsung menolak.
Jihan mengernyitkan dahi. Merasa familier dengan kalimat barusan. Rasanya kok kayak pernah denger, ya?
“Ya udah, Mas. Kita ke apartemenku aja. Biar aku bantu obati lukamu,” kata Jihan.
Jihan membantu pria itu berdiri lalu memapahnya ke mobil. Ia sempat menangkap pandangan penuh selidik dari beberapa orang yang ada di lokasi. Jihan benar-benar kesal dengan sikap mereka. Bukannya nolongin, malah cuma nonton!
Tanpa Jihan sadari, Raffa sudah turun dari mobil dan berlari menghampirinya.
“PAPA!”
Hampir saja Jihan tersandung karena kaget mendengar teriakan Raffa. Ia bingung melihat anak itu berlari memeluk kaki pria ini.
“PAPA! PAPA!”
Pria itu memicingkan matanya saat menunduk. Napasnya masih tersengal-sengal. “Ra-Raffa?”
“Papaaa ....”
Jihan hampir terjatuh karena pria ini refleks bersimpuh di depan Raffa. Ia belum berkomentar apapun dan memilih mengamati interaksi Raffa dengan pria yang diklaim sebagai ayahnya.
“Ini benar-benar kamu, Nak? Jagoan Papa?”
Raffa mengangguk-angguk dengan air mata yang mengalir deras. “Papaaaa!”
Jihan menghela napas lega melihat pasangan ayah dan anak yang saling berpelukan itu. Meski kabur dari rumah karena kesal, Jihan tahu bahwa Raffa sangat menyayangi ayahnya.
Pandangan Jihan kembali pada sosok ayah Raffa itu. Ia bisa melihat kelegaan dari sorot matanya meskipun menahan sakit pada luka di wajah. Sudah pasti sebagai seorang ayah, dia sangat mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba kabur dari rumah.
Dalam diam, Jihan mencoba memahami situasinya sendiri. Ia baru sadar bahwa pasangan ayah dan anak itu mengalami kemalangan di tempat yang sama. Juga, sama-sama mendapat pertolongan darinya.
Kemarin Raffa, sekarang papanya. Skenario apa lagi yang Allah rencanakan untukku?
Jihan langsung menyetujui permintaan Raffa. Ia sendiri juga merasa sudah kehabisan energi, mengingat jarang menikmati hari Minggu di luar rumah. Jihan lebih senang menghabiskan waktu bersantai seharian di apartemennya pada saat hari Minggu.
Selama mengemudi, Jihan beberapa kali melirik Raffa yang duduk di sampingnya. Ia terkekeh melihat anak itu terkantuk-kantuk.
“Sampai.”
Mendengar suara Jihan, Raffa refleks membuka matanya. Namun, bangunan yang terlihat di depan membuat alisnya tertaut heran. “Kita ke sini lagi, Kak?”
“Iya.” Jihan mengangguk pelan. Sekilas, ada rasa bersalah dalam hatinya karena kembali mengajak Raffa ke supermarket langganannya. Jihan tahu anak ini mengalami trauma setelah insiden semalam.
“Cuma sebentar, kok. Kemarin Kakak kelupaan beli garam.” Jihan melepas sabuk pengaman. “Kamu mau ikut? Kita bisa beli snack kesukaanmu.”
Ada keraguan dari sinar mata Raffa. Beruntung Jihan mampu meyakinkan bahwa Raffa aman karena ada dirinya.
“Gandeng ya, Kak,” pinta Raffa.
“Tentu.” Dengan penuh perhatian, Jihan menggandeng Raffa keluar dari mobil.
Awalnya Jihan mengira Raffa akan terus diam setelah mereka masuk ke supermarket. Namun, dugaannya meleset. Hanya dalam sepersekian detik, Raffa justru terlihat senang menjelajahi seisi supermarket. Ia bahkan sempat berlarian hingga membuat Jihan kewalahan saat mengejarnya.
Begitu tiba di area makanan dan minuman ringan, Jihan dibuat melongo dengan aksi Raffa yang memasukkan beberapa snack ke troli belanja mereka.
“Raffa ....” Jihan menepuk keningnya frustrasi. “Ini kebanyakan.”
“Nggak apa-apa, Kak. Buat stok,” jawab Raffa santai.
Jihan kehabisan kata-kata. Bibirnya berkedut. Buat stok? Emang Raffa mau nginep berapa hari di tempatku?
Kepala Jihan serasa pusing memikirkan situasi Raffa yang sedang kabur dari rumah. Ia harus segera mencari cara untuk menghubungi papa atau keluarganya.
“Udah selesai?” Jihan bertanya lagi saat Raffa sedang fokus memeriksa snack di troli belanja.
“Udah!” Raffa tersenyum lebar. Melihat ekspresi gembira itu, emosi Jihan seketika luruh.
Dalam benak Jihan, ia merasa senang bisa mengobati rasa kesepian Raffa. Meski hanya dengan mengajaknya jalan-jalan dan berbelanja, anak itu terlihat sangat gembira.
“Kak Jihan?”
Jihan tersadar dari lamunannya. “Iya?”
Raffa mengamati Jihan lamat-lamat, lalu mengulum senyum. “Kakak kelihatan cantik banget kalau lagi senyum.”
Jihan buru-buru memalingkan wajah sambil berdeham pelan. Apa-apaan ini? Aku digodain sama anak kecil?!
“Papa pasti bakal suka sama Kak Jihan,” lanjut Raffa polos. Ia tidak sadar ucapannya berhasil membuat wajah Jihan merah padam.
Ya ampun, Raffa. Bisa-bisanya dia jodohin aku sama papanya?!
“Udah. Kita ke kasir.” Jihan mengalihkan topik pembicaraan mereka.
“Ayo, Kak!” balas Raffa bersemangat.
Jihan memilih tidak mau ambil pusing dengan perkataan Raffa. Baginya, itu hanyalah ucapan polos anak kecil tanpa ada niat terselubung.
Selesai membayar, Jihan dan Raffa bergegas kembali ke mobil. Raffa menunggu Jihan memasukkan belanjaan mereka ke bagasi. Sesekali pandangannya mengedar ke sekeliling, takut bertemu kembali dengan geng remaja yang mengganggunya semalam.
“ARGGG!”
Raffa berjengkit kaget mendengar suara teriakan seorang pria, sama halnya dengan Jihan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari sumber suara. Matanya memicing tajam pada salah satu anggota geng preman yang baru saja memukul seseorang.
“Ya Allah. Apa lagi ini?” Jihan bergumam prihatin. Ia seperti deja vu dengan insiden yang menimpa Raffa semalam.
“Kakak ....”
Jihan terkesiap merasakan genggaman erat di tangannya. Begitu menunduk, ia menemukan wajah ketakutan Raffa.
“Kamu tunggu di mobil, ya? Kakak mau lihat dulu,” kata Jihan dan disetujui oleh Raffa. Anak itu langsung patuh masuk ke mobil.
Jihan menarik napas panjang-panjang, mencoba menenangkan hati dan mempersiapkan diri untuk kembali menolong orang yang sedang kemalangan. Ia bergegas menghampiri geng preman itu.
“BERHENTI!” Teriakan Jihan berhasil mengalihkan perhatian mereka.
“Mau apa lo?!”
Jihan meningkatkan kewaspadaannya dan terus mengamati sosok pria yang kini jatuh tersungkur di lantai. “Lepasin dia!”
“Lo siapa ikut campur urusan kita?”
Alis Jihan mengernyit saat mencium aroma minuman alkohol. “Lepasin dia atau aku laporin kalian ke polisi? Kalian udah bikin keributan di tempat umum dan ngelakuin kekerasan sama orang lain.”
Ancaman Jihan tidak membuat geng preman itu takut. Sebaliknya, mereka justru tertawa mengejek Jihan.
“Lapor aja kalau lo berani!”
“Oke!” Jihan mengabaikan ekspresi kaget mereka dan membuka tasnya untuk mengambil ponsel. “Kalian yang minta, ya?”
Geng preman itu terperanjat melihat Jihan serius dengan ancamannya. Mereka mengira Jihan hanya menggertak. Salah satu dari mereka langsung mencengkeram kuat lengan Jihan.
“Lepasin!” Belum sempat Jihan mengambil ponselnya, pergerakannya lebih dulu dikunci salah satu dari mereka. Namun, ia tak kehabisan akal. Jihan melakukan cara serupa dengan Raffa semalam.
“AAAAAAH!”
Jihan tidak lagi fokus pada rasa asin di lidahnya, melainkan kaget mendengar teriakan kesakitan preman itu yang seperti wanita. Ia tidak menyadari bahaya lain yang mengintai dari belakang.
Tepat saat Jihan berbalik, dia menjerit ketakutan melihat pria dengan tatto di lengan itu tampak bernafsu ingin memeluknya. Spontan saja, kaki Jihan menendang bagian bawah selangkangan dan tepat mengenai ‘adik’ pria itu.
“ARGGG!”
Mata Jihan mengerjap lucu melihat pria itu terduduk lemas di jalan sambil memegangi bagian bawahnya.
“Udah, nggak usah ngurusin cewek ini.” Pria yang Jihan yakini sebagai ketua mereka, memberi perintah sambil menatap tajam ke arahnya. “Ayo, pergi. Gue udah ambil dompetnya.”
Mendengar ucapan itu, wajah Jihan berubah panik. “HEI! BALIKIN DOMPETNYA!” Ia berlari mengejar mereka yang sudah kabur. Kali ini Jihan berhasil menyusul mereka berkat flat shoes yang dia kenakan.
Sayangnya, salah satu dari mereka berbalik dan mendorong tubuh Jihan hingga dia jatuh terjerembab di jalan. Jihan merintih kesakitan karena rasa nyeri pada punggung.
“BERHENTI!” Jihan sudah berdiri dan bersiap lagi untuk mengejar. Namun, geng preman itu sudah menghilang dari pandangannya.
“Ck, mereka berhasil kabur!” gerutu Jihan kesal. Sambil mengusap-usap punggungnya, Jihan berbalik. Ia buru-buru menghampiri pria yang menjadi korban dari geng preman itu.
“Ya Allah!” Jihan bergidik ngeri melihat kondisi wajah pria itu. Pipi lebam dan sudut bibirnya berdarah. “Mas, kamu nggak apa-apa?”
Sesaat Jihan menyesali kebodohannya. Luka kayak gini jelas nggak baik-baik aja, Jihan!
Pria itu merintih kesakitan saat tangan Jihan menyentuh sudut bibirnya.
“Kita pergi ke rumah sakit, ya?” tawar Jihan.
“Nggak usah. Aku nggak suka rumah sakit.” Pria itu langsung menolak.
Jihan mengernyitkan dahi. Merasa familier dengan kalimat barusan. Rasanya kok kayak pernah denger, ya?
“Ya udah, Mas. Kita ke apartemenku aja. Biar aku bantu obati lukamu,” kata Jihan.
Jihan membantu pria itu berdiri lalu memapahnya ke mobil. Ia sempat menangkap pandangan penuh selidik dari beberapa orang yang ada di lokasi. Jihan benar-benar kesal dengan sikap mereka. Bukannya nolongin, malah cuma nonton!
Tanpa Jihan sadari, Raffa sudah turun dari mobil dan berlari menghampirinya.
“PAPA!”
Hampir saja Jihan tersandung karena kaget mendengar teriakan Raffa. Ia bingung melihat anak itu berlari memeluk kaki pria ini.
“PAPA! PAPA!”
Pria itu memicingkan matanya saat menunduk. Napasnya masih tersengal-sengal. “Ra-Raffa?”
“Papaaa ....”
Jihan hampir terjatuh karena pria ini refleks bersimpuh di depan Raffa. Ia belum berkomentar apapun dan memilih mengamati interaksi Raffa dengan pria yang diklaim sebagai ayahnya.
“Ini benar-benar kamu, Nak? Jagoan Papa?”
Raffa mengangguk-angguk dengan air mata yang mengalir deras. “Papaaaa!”
Jihan menghela napas lega melihat pasangan ayah dan anak yang saling berpelukan itu. Meski kabur dari rumah karena kesal, Jihan tahu bahwa Raffa sangat menyayangi ayahnya.
Pandangan Jihan kembali pada sosok ayah Raffa itu. Ia bisa melihat kelegaan dari sorot matanya meskipun menahan sakit pada luka di wajah. Sudah pasti sebagai seorang ayah, dia sangat mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba kabur dari rumah.
Dalam diam, Jihan mencoba memahami situasinya sendiri. Ia baru sadar bahwa pasangan ayah dan anak itu mengalami kemalangan di tempat yang sama. Juga, sama-sama mendapat pertolongan darinya.
Kemarin Raffa, sekarang papanya. Skenario apa lagi yang Allah rencanakan untukku?