Bukan Sekadar Pengasuh Chapter 3

Posted by cloverqua, Released on

Option
“Kamu kabur dari rumah, ya?”

Hening. Sikap diam Raffa membuat Jihan yakin bahwa tebakannya akurat. Terlihat dari mata Raffa yang beberapa kali menghindari tatapannya. Jihan jadi bingung sendiri karena kembali membuat mood Raffa turun.

“Raffa, Kakak janji nggak akan marah.” Jihan meyakinkan Raffa. “Asalkan kamu mau cerita sama Kakak. Oke?”

Raffa mengangguk. Dia melirik Jihan kembali, sebelum memutuskan untuk bercerita padanya.

“Papa jahat, Kak.” Raffa mulai terisak. Air matanya kembali meluncur dari kedua matanya. “Kemarin Papa udah janji mau nemenin jalan-jalan hari Minggu besok. Tapi, tadi siang Papa bilang kalau rencana jalan-jalannya batal. Papa besok harus pergi ke Bandung.”

Jihan tertegun. “Papamu ke sana untuk urusan pekerjaan?”

“Iya. Katanya mau ketemu klien.”

Jihan mengangguk paham. “Kenapa nggak ikut Papa pergi ke Bandung? Siapa tahu, habis ketemu klien, Papa ngajak kamu jalan-jalan.”

Raffa menggeleng-gelengkan kepala. “Aku maunya pergi ke Sea World Ancol, Kak.”

Bibir Jihan berkedut. Ia tidak membujuk Raffa lagi karena menghargai keinginannya.

“Aku benci Papa! Papa jahat!”

“Eh, nggak boleh ngomong gitu.” Jihan bangkit dari kursinya lalu berpindah duduk di sebelah Raffa. Ia membiarkan Raffa menangis dalam pelukannya. Sungguh, hati Jihan bergetar merasakan kesedihan yang dialami Raffa. Dia anak yang kesepian.

“Jangan ngomong benci sama Papa, ya? Papa pasti juga sedih karena batal jalan-jalan sama kamu,” bisik Jihan berusaha menenangkan emosi Raffa.

“Yang bener, Kak?” Raffa mendongakkan kepalanya, menatap Jihan dengan sorot mata penuh harap. “Papa juga sedih?”

“Iya. Walaupun Papa sibuk, dia masih berusaha nyempatin waktu buat jalan-jalan sama kamu. Tapi, namanya rencana nggak ada yang tahu.” Jihan menyeka air mata Raffa. “Kecewa boleh, tapi jangan sampai ngomong kasar tentang Papa. Percaya aja, nanti Allah kasih kesempatan lagi sama Raffa buat jalan-jalan sama Papa di lain waktu.”

Jihan memeluk Raffa dan terus berusaha menghiburnya. Sebuah ide mendadak melintas dalam kepalanya. “Gimana kalau besok kamu jalan-jalan aja sama Kakak?”

Seketika wajah Raffa berubah cerah. “Jalan-jalan sama Kakak? Beneran?”

“Iya. Tapi, kita cari tempat yang deket aja buat efisiensi waktu. Kita bisa pergi ke Jakarta Aquarium. Perjalanan dari sini sekitar setengah jam,” usul Jihan. “Gimana? Mau?”

“Mau, Kak! Aku mau!” seru Raffa bersemangat.

“Oke!” Jihan menowel gemas pipi Raffa. “Besok kita jalan-jalan ke Jakarta Aquarium.”

“YEAY!” Raffa bertepuk tangan dengan gembira. Hal itu pun memancing gelak tawa Jihan.

Melihat wajah bahagia Raffa, Jihan memutuskan untuk mengesampingkan rencana untuk mencari cara menghubungi keluarga anak itu. Setelah mendengar cerita Raffa tentang papanya, Jihan tidak keberatan menghabiskan waktu bersantai di hari Minggu untuk jalan-jalan bersama Raffa.

Meski baru mengenal Raffa selama beberapa jam, Jihan sudah menyukai anak ini. Rasanya, dia ingin selalu membuat Raffa bahagia. Jihan tidak tega melihat Raffa bersedih karena merasa kesepian.

...***...

Keesokan harinya, sesuai janji Jihan mengajak Raffa pergi jalan-jalan menuju salah satu wahana aquarium yang ada di Jakarta Barat,  yakni Jakarta Aquarium yang berada di Neo Soho Mall, yang berseberangan dengan Central Park.

Jihan tertawa kecil melihat Raffa tak henti-hentinya berdecak kagum saat ia membawanya pergi mengunjungi Jakarta Aquarium yang berada di Jakarta Barat, tepatnya di Neo Soho Mall yang berseberangan dengan Central Park.

“Wah! Tempatnya bagus banget!”

Jihan tertawa kecil melihat Raffa yang kegirangan saat mereka mulai memasuki Jakarta Aquarium. Tempat ini merupakan rumah bagi lebih dari 600 jenis satwa. Pengunjung bisa melihat aneka satwa seperti berang-berang, penguin, hiu, reptil, hingga mencoba aquatrekking untuk ikut berenang bersama para ikan di dalam akuarium.

“Kamu suka?” tanya Jihan. Ia terlihat cantik dengan gaun selutut warna peach yang dibalut cardigan putih. Rambut cokelatnya yang sebatas punggung dibiarkan terurai. Jika biasanya Jihan memakai high heels, khusus hari ini dia memilih memakai flat shoes.

“Suka!” Raffa mengangguk dengan senyum lebarnya. Ia mendongak dan menatap takjub pada aquarium berukuran raksasa di sepanjang lorong yang mereka lalui.

Jihan senang melihat Raffa begitu gembira mengamati aneka spesies ikan laut. Sesekali Raffa juga terlihat takut, bahkan sempat menangis karena terkejut melihat ikan hiu yang tiba-tiba membuka mulutnya sewaktu Raffa mendekati dinding akuarium. Jadilah Jihan harus ekstra sabar menenangkan Raffa yang kembali menangis.

“Aku nggak nyangka kamu ngajakin aku ke sini, Yan.”

Alis Jihan tertaut ketika mendengar suara familier dari belakang. Ia menoleh dan mendapati sepasang pria dan wanita yang dikenalinya sedang bergandengan tangan dengan mesra.

“Kenapa? Kamu nggak suka?”

“Bukan nggak suka, aku cuma ...,” wanita itu membelalakkan matanya, “Jihan?”

Giliran sosok pria di sampingnya yang menoleh ke arah Jihan.

Jihan hanya meringis melihat pasangan kekasih itu langsung berlari menghampirinya.

“Nggak nyangka ketemu kalian.” Jihan masih cengengesan. “Mbak Dhea, Mas Rian.”

Jihan mulai gelisah saat duo rekan kerja sekaligus sahabatnya itu terus menatap ke arah Raffa. Ia harus mempersiapkan diri menerima beragam pertanyaan dari mereka.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Rian penasaran. Ia melirik Dhea yang ikut mencecari pertanyaan serupa. Seingat mereka, Jihan lebih senang menikmati hari Minggu dengan bersantai seharian penuh di apartemen saja. Mereka jelas tidak mengira akan bertemu Jihan di tempat umum semacam ini, dengan membawa anak kecil.

“Ini siapa?” tanya Dhea penasaran. “Keponakan? Atau anak? Eh, tapi kamu ‘kan belum meni—mmmphh!”

“Jangan ngomong aneh-aneh!” Jihan membekap mulut Dhea, sebelum wanita itu mulai berbicara sembarangan tanpa pernah disaring terlebih dahulu.

“Terus siapa dong? Jangan-jangan kamu menculik—argghh! Sakit!” Rian mengangkat salah satu kakinya yang sukses diinjak oleh Jihan.

“Kalian ini emang pasangan yang kompak. Sama-sama nggak punya otak jadi gampang mikir aneh-aneh,” cibir Jihan kesal. “Efek kebanyakan nonton drama sama filim. Jadi otak kalian isinya khayalan semua!”

“Jihan!” rengek Dhea dan Rian kompak.

Jihan langsung menghadiahi pelototan tajam karena teriakan pasangan kekasih itu membuat mereka menjadi pusat perhatian. Raffa yang sedari tadi memandangi mereka dengan kebingungan pun ikut penasaran.

“Kak Jihan, mereka siapa?”

“Oh, ini rekan kerja sekaligus sahabat Kakak.” Jihan memperkenalkan Dhea dan Rian secara bergantian. “Ayo, sapa Kak Dhea sama Kak Rian.”

Raffa mengangguk patuh. “Halo, Kak. Aku Raffa.” Ia menyapa Dhea dan Rian dengan senyum khasnya.

“Aduh, sopannya.” Dhea memekik heboh. “Mana ganteng lagi.”

“Inget, dia masih anak-anak,” celetuk Rian dengan bibir merengut.

Bibir Jihan berkedut. “Ya ampun, Mas. Kamu cemburu sama Raffa? Kayak anak kecil aja.”

Mata Rian melotot dan sukses membuat tawa Jihan pecah. Ia mendengus kesal dan melirik Raffa. Anak itu memandanginya dengan tatapan polos. Dalam hati, Rian tidak bisa menampik jika Raffa memiliki wajah yang rupawan.

“Jihan, kamu belum jawab pertanyaan kami.” Rian mengalihkan topik pembicaraan. “Dia siapa?”

Jihan menghela napas. “Ceritanya panjang, Mas. Aku nolongin Raffa di supermarket langgananku. Dia lagi digangguin remaja.”

“Maksudmu, kayak geng remaja yang nakal gitu?”

Jihan mengangguk. “Mereka ngerebut snack yang dibeli Raffa. Terus, hampir ngerebut ponselnya juga.”

“Ponsel?” Rian kembali memperhatikan Raffa. “Masih kecil udah bawa ponsel sendiri?”

“Mungkin Raffa dibolehin bawa ponsel sendiri biar gampang ditelepon sama orang tua atau keluarganya,” kata Jihan. “Sayangnya, dia kena apes.”

“Emang rawan kalau anak kecil bawa ponsel sendiri,” ucap Rian. “Kita aja yang dewasa juga sering jadi sasaran orang-orang jahat kayak gitu.”

“Bener banget, Mas.”

Selagi Jihan fokus mengobrol dengan Rian, Raffa sudah jalan bersama Dhea. Berkat pembawaan Dhea yang ceria, dia mudah akrab dengan Raffa.

“Kamu nggak coba lapor ke polisi?” tanya Rian.

Jihan terdiam sebentar, lalu menggeleng lesu. “Takut malah makin ribet, Mas. Aku fokus aja ngobatin hidungnya yang luka.”

“Oh, pantes. Hidungnya pakai plester.” Rian ikut prihatin. “Nggak kamu bawa ke rumah sakit?”

“Raffa nggak mau. Katanya benci rumah sakit,” jawab Jihan seraya menghela napas. “Jadi, aku bawa pulang ke apartemen aja.”

Rian mengangguk-angguk. “Nggak apa-apa. Keputusan kamu udah tepat.”

“Aku masih mikirin cara gimana nganterin Raffa pulang ke rumahnya.” Jihan memijat pelipisnya. “Ponsel Raffa mati.”

“Coba nanti tanya Raffa aja.” Rian ikut memberikan saran. “Dilihat-lihat dari cara ngomongnya, dia anak yang pinter. Siapa tahu dia inget alamat rumahnya.”

Mendengar usulan Rian, Jihan hanya meringis. Mendingan aku nggak ngasih tahu kalau Raffa aslinya kabur dari rumah.

“Lho? Dhea?”

Suara husky Rian membuyarkan lamunan Jihan. Ia langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling saat menyadari Raffa dan Dhea tidak berada dalam jangkuan penglihatannya.

“Raffa?” Jihan mulai panik. “Mereka ke mana, Mas?”

“Hadeh. Kebiasaan Dhea suka main ngilang aja.” Rian geleng-geleng kepala tiap kali mengingat kebiasaan sang kekasih. “Mungkin aja mereka udah keluar duluan. Kita susul aja.”

Keduanya bergegas mencari Dhea dan Raffa yang sepertinya sudah memiliki dunia mereka sendiri. Sampai-sampai meninggalkan keduanya seperti orang bodoh di tempat pertemuan mereka semula.

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset