Mobil yang dikemudikan Jihan telah sampai di area parkir apartemennya. Ia keluar lebih dulu, mengambil barang belanjaan dari bagasi, baru mengajak Raffa turun dari mobil. Jihan membawanya menuju gedung Tower A, tempat unit apartemennya berada.
“Kak Jihan tinggal di sini?”
Raffa bertanya pada Jihan ketika mereka sudah masuk ke lift. Selama perjalanan ke apartemen, mereka sudah mengobrol untuk mengakrabkan diri.
“Iya.”
“Sama siapa?”
Mata Jihan berkedip-kedip. Ia tidak menyangka Raffa memiliki rasa keingintahuan yang besar. “Sendirian.”
Alis Raffa mengkerut. “Sendirian saja? Papa dan mamanya Kak Jihan?”
Jihan tertawa kecil. “Mereka tinggal di Jakarta Utara.”
“Oh, begitu.”
Raffa tidak bertanya lagi dan memilih fokus mengamati penunjuk lantai pada lift. Begitu lift berhenti di lantai yang mereka tuju, Jihan segera menggandeng Raffa menuju unit apartemennya. Setelah membuka pintu dengan kartu akses, Jihan menuntun Raffa ke ruang TV.
Jihan bernapas lega melihat Raffa mulai tenang dan tidak menangis lagi.
“Tunggu di sini dulu, ya? Kakak ambilkan obatnya.” Jihan buru-buru ke kamar untuk mengambil kotak P3K. Ia menyempatkan sebentar untuk berganti penampilan dengan gaun santai, lalu pergi ke dapur. Selain kotak P3K, Jihan juga menyiapkan baskom berisi air hangat dan waslap.
Jihan memeriksa kondisi hidung Raffa dengan tisu.
“Alhamdulillah, darahnya udah berhenti keluar.” Jihan menghela napas lega. Ia beralih memasukkan waslap ke baskom berisi air hangat. “Kalau sakit bilang aja, ya?”
“Eum.”
Dengan penuh kehati-hatian, Jihan mengusapkan waslap yang sudah dibasahi air hangat ke hidung Raffa. Sesekali anak itu mendesis ketika merasakan perih pada bagian bawah hidungnya.
Setelah membersihkan hidung Raffa, Jihan bisa melihat dengan jelas jika lukanya pada bagian luar saja. Tepat pada jalur tulang hidung serta bagian dekat lubang hidung. “Masih sakit?”
“Sedikit.”
Jihan mengambil plester, lalu menempelnya pada bagian hidung Raffa yang terluka. “Selesai.”
Raffa tersenyum lebar. Wajah yang semula sembap air mata kini tampak lebih cerah. “Makasih, Kak.”
Mata Jihan berbinar-binar. Ia sangat mengagumi kesopanan Raffa. Apalagi saat anak ini tersenyum. Semakin terlihat tampan dan menggemaskan.
“Sama-sama,” balas Jihan seraya mengusap kepala Raffa. Ia pergi ke dapur dan mengambil minuman untuk Raffa. Diam-diam pikiran Jihan kembali teringat pada insiden yang menimpa Raffa beberapa waktu lalu.
Darah Jihan serasa mendidih tiap kali mengingat ulah para remaja yang sudah bertindak kasar pada Raffa. Nggak ngerti lagi sama kelakuan remaja zaman sekarang ....
“Kak, aku mau mandi,” pinta Raffa tiba-tiba dan membuat Jihan tersadar dari lamunannya.
“Eh? Mau mandi?” Jihan tampak kebingungan. “Tapi Kakak nggak punya baju ganti buat anak-anak.”
Raffa buru-buru mengeluarkan sesuatu dari ransel. “Aku udah bawa!” serunya gembira.
“Kamu udah bawa?” tanya Jihan tak percaya.
“Iya! Kalau lagi jalan-jalan, aku biasa bawa baju ganti sendiri, Kak,” jelas Raffa.
Jihan menatap Raffa dengan takjub. Ia tidak menduga bahwa anak ini memiliki persiapan yang matang saat melakukan setiap. Bepergian saja sudah terbiasa membawa baju ganti.
“Kamar mandinya di mana, Kak? Nggak sabar pengen cepetan mandi. Tubuhku udah lengket karena keringet. Bau lagi.” Raffa bergidik jijik sambil menunjuk kaosnya yang basah.
Jihan melongo. Jelas dia masih ingat bagaimana sikap pemalu Raffa ketika mereka bertemu di supermarket. Sekarang, anak ini telah menunjukkan kepribadiannya. Jihan kehabisan kata-kata atas tingkah Raffa layaknya orang dewasa yang selalu mengutamakan kebersihan tubuh. Perubahan sikap Raffa itu membuat Jihan mati-matian menahan tawanya.
...***...
Raffa baru keluar dari kamar mandi saat Jihan sibuk memasak di dapur. Ia menghampiri Jihan lalu dengan patuh berdiri di belakangnya.
“Kak, aku udah selesai mandi.”
Jihan menoleh dan tersenyum pada Raffa. Anak itu sudah berganti penampilan dengan kaos bergambar tokoh kartun Doraemon yang membuatnya tampak menggemaskan. Namun, di satu sisi Jihan harus mengakui bahwa Raffa memiliki paras wajah yang tampan untuk anak seusianya. Raffa aja udah ganteng begini, gimana papanya?
“Eh?” Jihan terkejut dengan isi kepalanya sendiri. Duh, aku mikirin apa, sih?
“Kak Jihan masak apa?” tanya Raffa.
Perhatian Jihan kembali fokus pada masakannya. “Nasi goreng telur sama sosis. Suka makanan ini nggak?”
“Nasi goreng telur sama sosis?” Mata Raffa berbinar-binar. “Itu makanan kesukaanku, Kak!”
“Wah, kebetulan dong.” Jihan tersenyum lega. "Sambil nunggu, kami bisa nonton TV dulu.”
“Oke!” Raffa langsung berlari ke ruang TV. Tingkahnya kembali membuat Jihan tertawa. Tak ingin membuat Raffa menunggu, ia segera menyelesaikan masakannya.
Tanpa Jihan tahu, Raffa yang terlihat fokus menonton TV sebenarnya beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Salahkan aroma masakan Jihan yang menggugah selera. Belum lagi perut Raffa yang keroncongan.
“Nasi gorengnya udah jadi!”
Seruan Jihan membuat Raffa refleks melompat dari sofa dan bergegas menghampirinya. Jihan mengajak Raffa berpindah ke meja bar.
Melihat nasi goreng buatan Jihan, mata Raffa kembali berbinar-binar. Ia sampai menelan ludahnya karena tidak sabar ingin segera menyantap makanan itu.
“Ini.” Jihan menyodorkan sendok. “Ayo, kita makan.”
Raffa mengangguk. “Berdoa dulu.” Ia menengadahkan tangan lalu menunduk sambil membaca doa sebelum makan. Lagi, Jihan kembali dibuat kagum olehnya.
“Udah?” tanya Jihan memastikan setelah ikut berdoa bersama Raffa.
“Udah!” Raffa dengan antusias memegang sendok. “Selamat makan!”
Jihan terkekeh dan mulai menyantap nasi goreng. Sesekali dia melirik Raffa yang tampak begitu lahap menyantap makan malamnya. Jihan pun gagal menahan tawa saat pipi Raffa yang menggembung lucu karena penuh dengan makanan.
“Makan pelan-pelan, Raffa,” tegur Jihan.
Raffa tersenyum lebar. Setelah berhasil menelan makanannya, ia berkata, “Nasi goreng buatan Kakak enak banget. Aku suka.”
“Yang bener?”
“Beneran! Sama-sama enak kayak nasi gorengnya Mbak Santi. Tapi, punya Kak Jihan lebih enak lagi,” lanjut Raffa.
Alis Jihan terangkat. “Mbak Santi? Siapa?” Ia jadi penasaran dengan nama yang disebutkan Raffa. Mungkin, sekarang waktu yang tepat untuk mengorek informasi tentang keluarga Raffa.
Bagaimanapun juga, Jihan harus mengantar Raffa kembali ke keluarganya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka sekarang mengetahui Raffa belum pulang ke rumah.
“Mbak Santi kepala pengurus di rumah Papa, Kak.”
“Oh.” Jihan mencermati jawaban Raffa. Bener tebakanku, anak orang kaya.
Baik Jihan maupun Raffa sama-sama fokus menikmati makan malam. Begitu makanan Jihan habis, ia kembali menanyai anak itu. “Raffa, umur kamu berapa?”
“8 tahun, Kak.”
Jihan mengangguk-angguk. “Tadi kamu di supermarket sendirian aja?”
“Iya.”
Dahi Jihan berkerut. “Papa sama Mama ke mana?”
Raffa belum menjawab. Namun, perubahan ekspresi wajahnya membuat Jihan semakin yakin bahwa anak ini menyembunyikan sesuatu darinya.
Ketika Jihan pertama kali melihat Raffa di supermarket, ia mengira anak itu pergi bersama orang tuanya. Namun, saat Raffa terjebak dengan para remaja nakal itu, tidak ada tanda-tanda kemunculan orang tuanya. Ini membuat Jihan berspekulasi bahwa Raffa memang bepergian seorang diri.
“Kakak nanya begini karena Kakak khawatir.” Jihan melembutkan nada suaranya. Takut menyinggung perasaan Raffa. “Kamu tahu ‘kan, bahaya kalau pergi ke tempat umum sendirian. Apalagi untuk anak seumuran kamu.”
Raffa menelan makanannya yang sedang dikunyah. “Aku tadi pergi jalan-jalan, tapi kesasar.”
Jihan menunggu Raffa selesai bercerita.
“Karena lapar, aku mampir ke supermarket buat beli snack, Kak.” Kepala Raffa semakin tertunduk. “Belum sempat makan, snack-nya udah diambil sama kakak-kakak yang nakal tadi.”
Ekspresi Jihan semakin rumit. “Kenapa kamu jalan-jalan sendirian? Papa sama Mama ke mana?”
“Papa sibuk kerja. Kalau Mama ...,” Raffa mendongak ke atas, “Mama udah bahagia di sana.”
“Ah?” Hati Jihan mencelos. Ya Allah, ternyata mamanya udah meninggal.
Bibir Jihan terkatup rapat. Ia tidak tahu harus berkomentar apa tentang orang tua Raffa. Ia merasa iba pada anak ini.
“Raffa, inget pesan Kakak baik-baik. Apapun situasinya, kamu nggak boleh pergi sendirian tanpa ditemenin Papa atau keluargamu.” Jihan buru-buru mengganti topik pembicaraan untuk memecah kecanggungan di antara mereka.
“Ada banyak bahaya di luar sana dan kamu sudah buktikan sendiri.” Jihan tersenyum kecut. “Untung aja ada Kakak yang nolongin. Kalau semisal nggak ada orang dewasa saat kamu digangguin tadi, gimana?”
Ekspresi wajah Raffa berubah murung dan membuat Jihan semakin didera rasa bersalah.
“Raffa, Kakak nggak marah. Kakak cuma ngingetin ini buat kebaikan kamu.” Jihan mengusap-usap tangan Raffa. “Lain kali jangan diulangi lagi, ya?”
Raffa mengangguk-angguk. “Iya, Kak. Aku tahu, aku salah.”
Jihan menghela napas lega. Ia sempat panik saat menangkap mata Raffa yang berkaca-kaca. Takut anak ini menangis lagi.
“Aku jalan-jalan sendirian karena kesel sama Papa. Papa sibuk kerja terus.” Wajah Raffa semakin cemberut. “Nggak pernah punya waktu buat aku.”
Jihan terkesiap mendengar nada emosi Raffa. Diam-diam, ia mengamati wajah Raffa yang tampak memerah karena marah.
Jihan teringat lagi saat dia memeriksa isi ransel Raffa. Anak itu membawa lebih dari satu baju ganti. Setelah mencocokkan dengan cerita Raffa barusan, sebuah kesimpulan muncul dalam kepalanya.
“Jangan bilang ...,” ekspresi wajah Jihan berubah serius, “kamu lagi kabur dari rumah?”