Bukan Sekadar Pengasuh Chapter 1

Posted by cloverqua, Released on

Option
“Bu Guru mau pulang sekarang?”

Jihan menunduk dan menatap wajah cemberut anak perempuan di depannya. Ia berjongkok sedikit, lalu mengusap lembut kepalanya. “Iya. Nayla jangan lupa kerjakan latihan yang Ibu kasih tadi, ya?”

Nayla mengangguk patuh. “Iya, Bu.”

“Anak pinter.” Jihan tersenyum sambil melirik ibu Nayla, Mayang. “Mbak, aku pamit.”

“Nggak makan malam dulu?” tawar Mayang. Ia sedikit terheran melihat Jihan buru-buru pulang selesai mengajar les privat putrinya. Sebab, biasanya Jihan ikut bergabung makan malam bersama mereka, mengingat jadwal mengajar yang berlangsung sore hari jelang jam makan malam.

“Nggak usah, Mbak. Lain kali aja, maaf. Aku harus beli stok makanan yang udah habis.” Jihan merapikan posisi tas dan menenteng cardigan. “Nanti makan di apartemen aja.”

Mendengar jawaban itu, Mayang tidak punya alasan untuk terus menahan Jihan. “Ya udah, hati-hati di jalan.”

“Iya.” Jihan menunduk dan tersenyum pada Nayla. “Ibu pulang dulu, ya?”

Nayla mengangguk-angguk dan melambaikan tangan. “Hati-hati di jalan, Bu Guru.”

Jihan terkekeh, lalu dengan gemas mengusap-usap kepala Nayla. Ia melirik Mayang. “Salam buat Mas Rendra.” 

“Tentu.” Bersama Nayla, Mayang mengantar Jihan sampai depan rumah. Hubungan Jihan dengan keluarga mereka tidak hanya terjalin lewat Nayla. Ia dan sang suami sudah lama mengenal Jihan yang notabene junior mereka semasa kuliah.

Mayang dan Nayla menunggu dengan sabar saat Jihan masuk ke mobil warna merah yang terparkir di halaman depan rumah mereka. Jihan membunyikan klakson lalu melajukan mobilnya meninggalkan rumah Mayang dan Nayla.

***

“Kira-kira masih ada yang kelupaan nggak, ya?” Jihan mencocokkan daftar belanja dengan barang yang sudah dia masukkan ke troli belanja. Saat ini, Jihan sedang berbelanja di supermarket, yang berjarak 1,5 km dari apartemennya di Kebagusan City.

Kening Jihan sedikit mengernyit saat notifikasi dari media sosial muncul di layar. Ketika dia memeriksa notifikasi itu, Jihan langsung melihat foto teman sekelas di kampusnya dulu.
“Udah pengangkatan pegawai, ya?” Jihan terdiam sejenak, lalu tanpa sadar kembali menyelami kondisinya sendiri.

Hampir 3 tahun, Jihan menekuni profesi sebagai guru les privat di salah satu lembaga bimbingan belajar. Profesi ini sudah Jihan tekuni mulai dari saat masih berstatus mahasiswa hingga lulus perguruan tinggi. Berbeda dengan teman-temannya yang memilih bekerja di sekolah, Jihan masih nyaman dengan pilihannya untuk menjadi guru les privat.

Sesuai dengan latar belakang pendidikan saat kuliah, Jihan mengajar les privat mata pelajaran Matematika untuk siswa tingkat SD dan SMP. Sebagian besar siswa les privat Jihan merasa cocok dengan gaya mengajarnya. Orang tua mereka pun puas dengan kinerja Jihan. Terbukti dengan hasil nilai anak mereka dalam hal pelajaran Matematika yang mengalami peningkatan.

“Nggak apa-apa, Jihan. Setiap orang punya passion masing-masing.” Jihan tidak mau ambil pusing dan memilih bersyukur atas pencapaiannya sendiri.
“Ck, tinggi banget!”

Celetukan itu membuat Jihan menoleh pada sosok anak laki-laki yang tampak berjinjit di depan rak area snack. Anak itu tampak berjuang keras ingin mengambil salah satu snack di bagian rak paling atas. Jihan pun bergegas pergi membantunya.

“Kamu mau snack ini?” Jihan menunjuk snack berbungkus warna hijau.

Kemunculan Jihan membuat anak itu berjengkit kaget. Ia tidak langsung menjawab dan justru memandangi Jihan tanpa berkedip. Sontak saja, reaksinya membuat Jihan tersenyum kecil.
Jihan tidak bertanya lagi dan mengambil apa yang diinginkan anak itu. “Ini.”

Sekilas, ada semburat rona merah di pipi anak laki-laki itu ketika menerima snack dari Jihan. “Terima kasih, Kak.”

Mendengar balasan sopan itu, bibir Jihan semakin melengkung sempurna. “Sama-sama. Nama kamu siapa?”

Anak itu mendongak sebentar, lalu kembali menunduk, “Raffa.”

Jihan mengusap kepalanya. “Anak yang sopan.”

Raffa menunduk malu dan segera berlari menjauhi Jihan. Untuk kedua kalinya, Jihan dibuat tertawa oleh tingkahnya. “Ada-ada aja.”

Jihan kembali memeriksa daftar belanjaannya. Setelah dirasa lengkap, dia pun pergi ke kasir.
“Terima kasih,” ucap Jihan pada petugas kasir. Begitu melewati pintu, Jihan mendorong troli belanja menuju mobilnya. Setelah memasukkan kantong belanjaan ke bagasi, Jihan mendengar suara keributan dari sisi kanan.

Jihan memicingkan matanya pada tiga remaja laki-laki yang sedang mengepung seorang anak. Mereka sengaja berdiri di belakang mobil box, seolah tak ingin aksi mereka ketahuan oleh orang lain.

Begitu Jihan memperoleh celah untuk melihat sosok anak itu dengan jelas, matanya seketika membelalak lebar. “Raffa?” Ia segera berjalan perlahan mendekati mereka. Bersembunyi di belakang mobil warna hitam yang berselang dua mobil dari posisi mobil box tersebut.

“Lo abis beli snack? Sini! Kasih ke kita!”

Raffa tidak merespon dan semakin memeluk erat snack yang dibelinya. Salah satu remaja berusaha merebut snack itu. 

“Ini punyaku!” bentak Raffa.

“Ck! Kasih nggak?!”

“Enggak!”

Remaja lainnya berusaha mengalihkan perhatian dan Raffa kehilangan fokus. Alhasil, snack itu berhasil berpindah tangan. Emosi Raffa pun tersulut karena ulah mereka.
“Kalian jahat! Aku bakal laporin ke Papa!”

Ketiga remaja yang sudah asyik membuka snack itu pun terkejut mengetahui Raffa mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Terlebih dengan ancaman yang baru saja dilontarkan olehnya.

Tak kehabisan akal, salah satu dari mereka langsung merebut ponsel Raffa.

“Ah!” Raffa memekik panik “Ponselku!”

Raffa berusaha merebut kembali ponselnya. Sayang, postur tubuhnya yang lebih pendek membuatnya kesulitan untuk mengambil kembali ponselnya. Para remaja itu bahkan sengaja memainkan ponsel itu di atas kepala Raffa sambil memberi ejekan.

“Mau ambil ini? Ayo, lompat!” Remaja itu tertawa terbahak-bahak melihat Raffa berulang kali melompat. “Ambil kalau bisa!”

“Balikin!”

Tawa mereka semakin keras 

“Eh, ini kayaknya ponsel keluaran terbaru, deh?”

“Iya, bener. Kita ambil aja, yuk”

“Ide bagus!”

Obrolan itu membuat Raffa semakin panik. “Jangan!” Meski terus dihalangi, Raffa melakukan berbagai cara untuk mendapatkan ponselnya kembali. Ia nekat menggigit tangan remaja yang sedang memegang ponselnya.

“ARGH!” Rasa sakit yang diberikan Raffa membuat remaja itu refleks melempar ponselnya. Ia melihat bekas gigitan Raffa pada punggung tangannya. Matanya berkilat marah. Ia pun balas mendorong Raffa hingga anak itu jatuh tersungkur dengan posisi wajah lebih dulu menyentuh jalan.

“Ya Allah! Raffa!”

Teriakan Jihan membuat ketiga remaja itu kaget. Wajah mereka pucat pasi begitu melihat keberadaan Jihan.

“Kabur, kabur!”

Mengetahui ketiga remaja itu hendak kabur, Jihan pun bergegas mengejar mereka.

“WOI! JANGAN LARI!” Jihan terus mengejar, tetapi mengalami kesulitan karena sepatu high heels yang dia kenakan. Alhasil, kecepatan larinya menurun dan ketiga remaja itu berhasil lolos. 

“Ck, mereka berhasil kabur!” Jihan membungkuk sebentar, mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

“Ugh ....”

Tangisan dari belakang membuat Jihan berbalik dan menghampiri Raffa yang sudah berdiri setelah jatuh. “Raffa, kamu nggak apa-apa?” tanya Jihan panik.
Raffa terus menangis. “Hidungku sakit, Kak.” 

Bola mata Jihan nyaris keluar ketika ia melihat cairan berwarna merah yang keluar dari lubang hidung Raffa.

“Ya Allah, hidungmu berdarah!” pekik Jihan histeris dan membuat tangisan Raffa semakin keras. Jihan menggandengnya ke mobil, lalu mengambil beberapa lembar tisu. Dia berusaha menghentikan darah yang keluar dari hidung Raffa.

“Kita ke rumah sakit, ya?” bujuk Jihan. Ia khawatir kondisi hidung Raffa parah karena darah yang keluar cukup banyak.

“Nggak! Aku nggak suka rumah sakit!” 

Jihan semakin panik karena tangisan Raffa semakin tak terkendali. “Ya udah, kita nggak ke rumah sakit. Tapi, ke apartemen Kakak aja. Buat ngobatin lukamu. Oke?”

Jihan tahu Raffa mengalami syok. Terlihat dari tubuh anak ini yang gemetaran.

“Ssshh, udah. Nggak apa-apa.” Jihan mengusap-usap lengan Raffa dan berusaha menenangkannya. “Kamu aman sama Kakak. Nggak usah takut, ya?”

“Iya, Kak.” Raffa masih sesenggukan dan menunjuk hidungnya. “Sakit ....”

“Tahan, ya? Kita pulang ke apartemen Kakak.” Kali ini Jihan mengusap lembut wajah Raffa, menyeka keringat di keningnya.  

Raffa tidak berbicara lagi dan menuruti setiap perkataan Jihan. Ia dengan patuh masuk ke mobilnya.

Setelah menutup pintu mobil di sisi Raffa, Jihan segera berpindah ke sisi pengemudi. Ia bersiap masuk, tetapi baru menyadari ada hal yang terlewat.

“Oh iya, ponsel Raffa!” Jihan buru-buru pergi ke lokasi tempat Raffa terlibat insiden dengan ketiga remaja nakal tadi. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling hingga akhirnya menemukan benda itu.

Melihat kondisi layar ponsel Raffa yang retak, hati Jihan mencelos. “Duh, ponselnya jadi begini. Gimana caranya aku nelepon orang tua atau keluarganya Raffa?”

Jihan mendengus kesal, lalu memutuskan untuk menyimpan ponsel itu. Ia kembali ke mobil dan segera membawa Raffa pulang.

Sekarang fokus dulu buat ngobatin Raffa. Baru pikir cara lain untuk mengabari keluarganya ....

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset